Bagian 7
Begitu kagetnya aku mimpi terjatuh, dan rupanya ini masih tengah malam. Kulihat jam dinding pukul 02:15 dini hari, dingin sekali malam ini. Kuintip Ulfa dikasur begitu cantiknya ia tidur dengan bibir yang terlihat manis.
Ya Allah --- Hasratku tiba-tiba menggebu. Aku begitu gelisah, kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi -- kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi.
Tubuhku semakin gemetar melawan hasrat kelelakianku, hingga akhirnya Ulfa terbangun menatapku.
"Eeeeemmmmhhh, Kok nggak tidur Cha?" Tanya Ulfa melepas selimutnya.
"Iya, baru kebangun, " jawabku.
"Sudah, tidur disini saja, dingin disitu ya. Cepet naik ke kasur hmmmmhhh," sambung Ulfa masih tampak ngantuk.
Aku diam sejenak, aku ingin tapi tak ingin. Aku tahu itu salah, aku tak bisa tidur seranjang dengannya. Aku laki-laki normal.
" Nggak ah, aya-aya wae. Tidurin lagi tu," jawabku.
Aku masih gelisah. Jujur -- malam ini begitu menyiksa. Hasratku terus menggoda agar aku ----- Ahh! Sekuat hati aku berdzikir memohon ampunan. Aku tahu Allah melihatku, aku yakin Allah mengerti hasratku sebagai manusia biasa. Sekuatnya aku ber istighfar meredakan nafsuku, hingga akhirnya aku terlelap tidur.
Kini basah ...
Mimpi jadi alir pipi,
Karena pekat gerimis dimata yang jelata,
Sekejap ingin kubunuh,
Sekejap hasrat kubuang jauh-jauh,
Menahan pekat hati tapi raga yang gemetar,
Menahan hitam cinta,
Dan hasrat yang gemetar ...
***
"Hooahhh,, Hmmhhhhh ..." enaknya bangun pagi dikamarku sendiri.
IYA --- aku sudah di Bandung, terbangun dikamarku sendiri. Benar-benar pengalaman yang aneh, setelah hampir dua minggu berada di Jogya.
Kotanya kuakui menyenangkan dengan orang-orang yang ramah, tapi keadaanku yang tak menyenangkan karena aku tak punya uang.
Bila urusan makan dan hiburan masih mending tak terlalu sakit, tapi yang paling sulit adalah menahan hasrat malamku tidur dengan Ulfa tapi tak pernah terjadi apa-apa dalam 'tidur yang menyiksa' -- Huhhh dehh.
Kami bisa pulang ke Bandung bukan karena hasil mengamenku, tapi uang dari suami Ulfa didetik akhir baru dia datang kayak polisi india. Aku heran, saat dia tiba di Jogya malah berterima kasih padaku karena sudah mau menemani Ulfa --- dasar suami yang aneh.
"Hahhh, Sialan" kesal rasanya kalau mengingat hal itu. Bukannya dari hari pertama dia datang terus ngasih duit buat Ulfa. tak perlu aku kesana sampai lahir batinku tersiksa.
Sambil merasa-rasakan dinginku dalam selimut, aku masih terbayang kalau malam kemarin aku masih bersama Ulfa. Hihiii -- jadi ingin tertawa sendiri.
"Oh iya! Aku masih punya uang," kataku bicara sendiri beranjak dari kasur untuk kemudian mengambil tas yang kemarin kubawa ke Jogya. Kuperiksa rupanya banyak sekali recehan, lumayan ... Kuhitung-hitung semuanya ada 180 ribu rupiah.
"Aku beli apa ya? Inikan hasil susah," kataku dalam hati. Tak lama berpikir, aku teringat Ulfa.
"Iya, aku cari uang ini untuk Ulfa, berarti ya harus untuk Ulfa. Beli apa ya?" Kataku lagi. Setelah berpikir sejenak, aku berniat membelikan Ulfa Sweater --- Hmmm.
Singkat cerita aku pergi ke kota mencari sweater atau baju hangat yang hendak kubelikan untuk Ulfa. Kucari warna kesukaan Ulfa yaitu hijau. Tak lama mencari, akhirnya kupilih yang menurutku bagus dan pastinya cantik bila Ulfa yang memakainya.
Seusai membeli Sweater, aku langsung menuju ke kosan Ulfa yang memang tak jauh dari toko tempat aku membeli sweater.
Aku sudah terbiasa datang ke kosan Ulfa saat dia sedang libur, tapi kali ini aku tak memberitahu Ulfa terlebih dulu.
"Kejutan ah," kataku mesam-mesem sendiri sambil terus berjalan memasuki gang-gang atau jalan-jalan tikus agar cepat sampai ke kosan Ulfa. Hingga tanpa terasa aku sudah sampai didepan pintu kosannya.
Jendelanya kulihat masih tertutup, padahal hari sudah siang, lampu didalamnya juga mati.
"Ulfa ada nggak ya? Kok sepi banget," kataku bicara sendiri heran.
Aku tahu hari ini Ulfa belum masuk kerja, dan kulihat sandal sepatu coklat yang biasa ia pakai masih ada diluar pintu.
"Tapi nggak ada suara sama sekali," kataku lagi dalam hati.
Karena penasaran akupun membuka pintu kosan Ulfa, yang rupanya tak dikunci.
"HAHHHHH, LAGI NGAPAIN KAMU FA!!! ... Aaaa ... apa ini ..." kataku gemetar.
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat. Ulfa setengah tak berbusana terperanjat kaget melihatku masuk. Dia tengah bergumul bersama seorang lelaki dan itu bukan suaminya.
Sering kulihat laki-laki itu, Iya -- dia rekan kerja Ulfa di toko kaset.
"Ehhh Cha!" Spontan Ulfa kaget sembari melepaskan diri dari laki-laki sialan itu.
Tak lagi bisa berpikir, kujatuhkan sweater yang baru saja kubeli untuknya didalam kamar, dan aku bergegas keluar. Tak sudi rasanya melihat pemandangan laknat seperti itu.
"Chaa ... Chaa ... dengar dulu Cha!" Teriak Ulfa sembari membetulkan pakaiannya.
Aku mempercepat langkahku. Aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan. Dia bukan siapa-siapa aku. Kenapa aku harus sedih? Kenapa aku harus sakit?.
Sambil terus menjauh aku berpikir; Mungkin cinta itu begitu rapuh, mungkin perasaan itu adalah bohong, mungkin kenyataan itu adalah sesuatu yang sialan ---- Arggghhh ...
Ya! Aku tak boleh kecewa, aku tak boleh marah. Mungkin ini yang sering dikatakan Papaku 'Senja Yang Rapuh'. Akhir cinta yang lumpuh. Tanpa uang, tanpa hasrat, tanpa kebersamaan, tanpa perasaan, tanpa iman --- rapuh.
Aku mempercepat langkah setengah berlari, ingin rasanya segera pergi. Kenapa aku menangis? Sialan --- kenapa aku harus nangis.
Tak kupeduli lagi apa yang kulihat didepanku. Akhirnya aku berlari sekencangnya di tengah sibuknya kota.
Rasanya sakit sekali. Cinta ... apa aku harus selalu mencintainya. Kutekan dadaku kuat-kuat. Tapi tetap ini sakit ... Sakit sekali.
Dan aku tak bisa lagi berpuisi,
Dalam dada rasa tak terlukiskan,
Entah apa yang merasuk,
Senja yang rapuh kualami sebelum kulalui,
Dibalik kidung perihnya,
Aku telah tahu rasanya,
SENJA YANG RAPUH ...
~o0o~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar