Bagian 3
Waktupun berlalu, tanpa terasa beberapa bulan sudah kebersamaanku dengan Ulfa. Dia benar-benar gigih meluluhkan hatiku sampai akhirnya hubungan kami dekat. Tak pernah lagi kudengar panggilan 'Aa' untukku dari bibir imutnya seperti saat pertama kali kami bertemu, dan itu wajar saja, sebab kami hanya berteman, Ulfa yang sekarang adalah sahabatku.
Alhamdulillah, selama ini aku bahagia berteman dengannya, hidupku sedikit lebih lengkap dengan kehadirannya. Allah sayang padaku hingga perlahan memudarkan perasaanku pada Ulfa supaya aku tak tersiksa. Banyak cibiran orang tentang hubungan kami tapi aku tak pernah peduli.
Setelah sekian lama bersahabat, perlahan aku semakin tahu tentangnya, aku semakin tahu kisah Ulfa yang sebelumnya tak pernah aku duga. Awalnya akupun sempat tak percaya kalau rupanya Ulfa adalah istri simpanan seorang pejabat dari luar kota. Rasanya sedih harus mengetahui hal itu, bukan karena tentang perasaanku padanya, tapi karena aku ... ah tak tahu juga, Pokoknya aku benci, aku sungguh tak terima. Bila suaminya orang hebat, seorang yang mapan ditambah lagi ia seorang pejabat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, tapi kok tega menelantarkan istrinya seperti ini. Apapun status Ulfa, seharusnya suaminya menjaganya, membimbingnya agar menjadi baik, bukan malah menyembunyikannya dari mata dunia, dan cukup didatangi, dinafkahi hanya sekedar lewat saja, kayak orang numpang pipis. Astagfirullah, ahh ... aku tak tahan memikirkan itu, mencoba berpura-pura tak tahu, ngapain juga aku harus peduli masalah orang.
"Nak! Ada Ulfa tuh ... " Kudengar Mamak memanggilku. Aku yang sedang menonton acara kartun favoritku segera beranjak hendak menghampirinya. Tapi belum sempat beranjak, Ulfa sudah terlebih dulu masuk membuka pintu.
"Woi Cha ... kartuuuuun terus yang ditonton, kapan jadi orang gedenya sih kamu, nih ada eskrim, biar idup jadi manis dikit," katanya sambil menyodorkan sebatang eskrim padaku.
"Halaaahhh, datang-datang nyerempet aja, kayak naek angkot. nggak mau ah,, sana ... sana iihh, sempit tahu, kayak nggak ada tempat lain aja, elu tuh,, udah emak-emak masih ngemut eskrim. Minggir, minggir, lagi seru nih" kataku menolak sembari mendorong Ulfa yang terus saja menjahiliku.
"Yah, sia-sia kubeli, ya sudah buat aku aja,, hmm,, enak tau. Emang susah sukanya sih Cha, kalo lidah belum di update, tahunya cuma rasa gemblong doang, xixixixii," katanya lagi terus menggoda sambil menghalangi aku menonton TV.
"Aduuuuuhh Ulfa, kok makin disengaja, awas minggir sana keburu habis, meuni riweuh pisan," Kataku makin kesal.
"Iya ... iya maaf, sensi banget sih tiap aku dateng. O iya Cha, hari ini ke studio kan? Aku ikut ya?" Tanya Ulfa.
"Biasanya juga ikut nggak nanya dulu," jawabku singkat.
"Hmm, tapi sebelum ke studio, temani aku cari tiket ya? Suamiku sudah menungguku di Jogya, " Kata Ulfa lagi.
(Sett ...) Mendengar itu spontan kutatap wajah Ulfa. Entah kenapa seakan aku tak suka, apa mungkin aku cemburu? Ahh, aku tak tahu. Tak kupungkiri Ulfa spesial dihatiku, walau memang bukan cinta yang mengikatnya. Dan aku tak mau kehilangan Ulfa.
"Wah ... berapa lama? Kapan pulangnya Fa? " Kataku bertanya.
"Belum juga pergi sudah nanya pulangnya, ya nggak tahu lah, semoga saja selamanya, hihihi ... aku kangeeeeen banget sama suamiku," Jawab Ulfa tersenyum sendiri.
"Ciyeeee yang lagi seneng, hehee, Pulangnya bawa oleh-oleh ya? Sekalian salamin aku sama Katon atau Erros ya. Bilangin, kapan bisa manggung bareng, hahahaa," Kataku bercanda, padahal ada yang aneh dihatiku.
Iya ... mungkin aku cemburu.
***
Degup jantungku seperti bertanya,
Lewat detak yang melambat ...
Seperti bias warna yang selalu kutanyakan,
Tiada wajahku dimata cinta,
Tiada wajahmu ditatap rinduku,
Sekedar firasat takut,
Atau bisik nurani yang bohong,
Dan aku ...
Laki-laki yang kebingungan
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar