Senin, 23 Oktober 2017

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 6

     Ini hari ketigaku di kota Jogya. Ulfa menjadi jarang bicara saat kukatakan padanya kalau uangku hilang hingga membuat kami belum bisa pulang, dan aku mengerti perasaannya.

     Disini kami tersiksa hanya makan satu kali sehari, itupun satu piring berdua yang memang gratis disediakan dalam paket penginapan.

     Aku kangen Mama. Rupanya beginilah rasanya jauh dari keluarga, ditambah lagi aku tak punya uang, aku tak bisa mencari uang.

     Aku tak tega melihat Ulfa hanya bisa melamun atau menonton Tv dikamar, terbersit dipikiranku, pantas saja aku belum punya kekasih atau istri. Allah sayang padaku, baru tiga hari saja begitu tersiksa melihat orang yang kusayangi kurang makan, apalagi kalau nanti berumah tangga --- tak berani aku membayangkannya.

     Mencoba tak banyak berpikir, kupaksakan mataku fokus menonton acara ceramah shubuh di tv tetapi malah membuatku semakin sedih dan teringat rumah. Ditambah lagi ustadz nya berceramah tentang bahaya zinah dan pergaulan bebas --- Ya Allah, aku benar-benar takut. Yang kulakukan ini dosa besar walau aku tak melakukan apa-apa.

     Ulfa itu istri orang, bagaimanapun suaminya aku tak berhak setitikpun masuk dalam kehidupannya, tapi malahan sekarang aku berduaan dengannya.

     Makin gelisah perasaanku. Sesekali kutatap Ulfa yang masih tertidur pulas hingga tak terasa hari sudah pagi dan mentari sudah memaksa masuk dari sela-sela gorden jendela yang belum aku buka.

     Aku kembali membaringkan tubuhku, tapi disela renunganku yang hampir menutup mataku lagi, sayup kudengar sepertinya seseorang tengah bermain gitar. Begitu cantik suaranya. Aku penasaran dan segera beranjak mencari darimana asal suara itu.

     Rupanya Bapak yang membersihkan taman kemarin, hebat sekali kulihat dia memainkan jemarinya memainkan gitar. Walau tanpa bernyanyi, indah sekali nada- nada klasik yang kudengar dari petikan gitarnya.

     Melihat itu seketika ideku muncul, bagaimana kalau kupinjam saja gitarnya kupakai mengamen, agar aku bisa mengumpulkan uang untuk ongkos pulang. Aku takut, tinggal semingguan lagi batas kami menginap disini. Aku takut makin lama menyiksa Ulfa, dan makin banyak juga aku berdosa.

     Tak berlama-lama kuberanikan diriku berbicara padanya, sambil basa-basi aku sedikit belajar beberapa kunci gitar darinya.

     Kuceritakan padanya tentang keadaanku hingga ia iba dan menawarkan memberiku ongkos pulang tetapi aku menolaknya. Aku tak sanggup membayarnya, dan belum tentu juga aku kembali ke kota ini. Kota Jogya yang tak terpikir sebelumnya untuk kusinggahi.

     Alhamdulillah, setelah lama santai berbincang, akhirnya dia mengerti dan bersedia meminjamkan gitarnya kepadaku. Kuberdoa dalam hati semoga Allah segera membalas kebaikannya -- amin.

                    ***

     Singkat cerita akupun nekad mengamen disekitar tempat kami menginap. Cukup ramai disini karena memang disini daerah wisata yang cukup terkenal.

     Inilah pengalaman pertamaku bernyanyi dijalanan. Biasanya aku pentas bersama saudara-saudaraku. Aku sungguh kangen mereka; Sammy, Riku, Balawan, Astri --- ahh, dan banyak lagi muncul wajah-wajah sahabatku.

     Aku gugup sekali saat akan mulai bernyanyi. Kukuatkan diriku dengan mengingat rasa kangenku pada Mama dan Papaku;

     "( Chapunk nggak bisa Ma, dirumah tak pernah susah kayak gini. Pa, maafin Chapunk juga ya Pa -- Chapunk selalu saja bikin Papa malu. MAMA ... PAPA ... doain Capunk ya. Capunk pengen pulang)" kataku menangis dalam hati. Kemudian mulai bernyanyi.

     Lambat - laun akupun mulai terbiasa dengan gitar pinjamanku. Mencoba berdamai dengan rasa malu hingga tak terasa separuh jalan sudah kususuri hampir sampai ke terminal lagi.

     Kumasuki tiap tempat dimana banyak orang berkumpul. Kujajaki tiap tempat yang kulihat ramai. Tanpa kata pembuka aku langsung bernyanyi. Aku tak bisa basa-basi layaknya para pengamen yang sering kulihat di Bus Damri di Kota Bandung. Tapi alhamdulillah -- orang-orang disini mengerti kalau aku sedang mengamen.

                      ***

     Benar kata pepatah dulu; bila melakukan sesuatu waktu takkan terasa berlalu. Seperti terhanyut, aku keasyikan mengamen hingga hampir maghrib. Aku tahu pasti Ulfa belum makan.

     Mengingat itu, aku putuskan sudah cukup mengamennya hari ini dan bergegas pulang ke tempat kami menginap. Berjalan kaki lagi sembari menghitung uang hasil mengamenku.

     "Hihihi, senang sekali -- lumayan ..." benar-benar aku bahagia. Ini uang hasil keringat pertamaku, walau sebelumnya sering aku manggung bersama Band ku, tapi jujur saja --- tak pernah dibayar.

     Rasanya begitu bangga sekali walaupun uangnya tak seberapa. Kubelikan nasi bungkus terlebih dahulu untuk kubawa pulang ke penginapan. Kasihan Ulfa dari pagi kutinggal sendiri. Tak tega mengingat itu, kucepatkan segera langkahku supaya lekas sampai.

     "Darimana Cha? Seharian nggak pulang --- kirain kabur ninggalin aku," tanya Ulfa cemberut begitu melihatku masuk kamar.

     "Hehee, pengen tahu aja ah. Nih makan dulu," jawabku sambil menyodorkan nasi bungkus dan beberapa cemilan yang kubelikan untuknya.

     "Wahh ... uang dari mana Cha? Kok banyak banget belinya?" Tanya Ulfa heran.

     "Aku tadi ngamen," jawabku singkat.

     "Emang kamu berani, Widiiiiihh --- nggak percaya ah. Kamu kan anak mami, ke tempat rame aja mesti dikawanin, hmmm," kata Ulfa masih tak percaya.

     "Ya maksain lah --- Emang kamu nggak kepingin pulang?" Kataku menyindir.

     "Yee ... ya mau lah! Haduuuuuuuh, nomor suamiku kok belum aktif juga sih ..."

     "Sudah makan dulu, kangennya belakangan saja," kataku memotong sambil membukakan nasi bungkus buat Ulfa, supaya ia segera memakannya.

     "Nyindir aja kamu mah! --- Cha, kira-kira suamiku lagi ngapain ya?"

     "Ya lagi sama anak istrinya lah. Ehh -- Maaf! ..." Jawabku terkejut spontan, menyadari kalau aku asal bicara.

     Aku mengira Ulfa akan marah, tapi dia hanya diam melanjutkan makannya.

     Menatap Ulfa yang kembali murung aku menjadi merasa bersalah. Ya Allah, kenapa mesti begini.

     Aku berpikir kalau saja aku yang menjadi suaminya, kalau saja aku yang sudah mapan, kalau saja aku dewasa dan pandai, kalau saja aku yang banyak uang. Aku takkan pernah menyiksanya seperti ini --- hmmmm.

                      ***

Salahkah aku iri,
Cinta untukku mahal, tak sanggup aku beli
Mungkin mudah mencintaiku,
Tapi mudahkah bila hidup denganku?
Pertanyaan yang tak bisa kujawab,
Dan sisi perihnya, jadi sudut yang menyiksa,
Hanya mengagumi pelangi,
Yang indahnya, takkan pernah aku sentuh

                       ***

    
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sakit Hati

Dan semenjak itu mungkin aku bisa tertawa tapi tak setegas dulu Dan Setelah itu mungkin aku bisa bicara tapi tak cerewet seperti kemarin Dan...