Sabtu, 21 Oktober 2017

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 5

     Hampir seharian penuh perjalananku dari Bandung menuju Jogyakarta, alhamdulillah tanpa terasa aku sampai juga. Tak enak sekali rasanya duduk berjam-jam didalam Bus. Rasanya antara sadar tak sadar, dengan kuping berdengung, dan remuk rasanya seluruh badan.

     Masih setengah pusing kupaksakan diriku berdiri untuk kemudian keluar berdesakan bersama puluhan penumpang lainnya yang ingin segera turun dari Bus.

     Layaknya sebuah perlombaan, kami semua ingin menjadi yang pertama keluar dari sumpek dan panasnya didalam.

     Setelah keluar dari Bus, pikiranku seperti kehilangan arah, dan hal pertama yang kurasakan adalah --- bingung --- Ramainya orang di Terminal membuatku semakin pusing dengan bahasa dan logat yang asing ditelingaku. Ditambah lagi dengan rayuan para calo taksi membuatku kepalaku serasa pecah ingin berteriak "Stoooppp!" Tapi tak mungkin kulakukan.

     "Aduuuuuuuh, apa yang harus kulakukan disini," kataku dalam hati. Kemudian kembali menghisap rokokku mencoba menenangkan diri.

     "Halaaahhhh, rokok sialan," gerutuku lagi sembari melempar puntung rokok sisa hisapanku yang masih cukup panjang. Aku benar-benar gelisah tak tahu harus berbuat apa, hanya berdiri mematung sambil mengamati sekitarku. Setelah hati  sedikit tenang, kuambil Ponsel yang selalu kusimpan dikantong kanan celana jins ku. Kemudian menghubungi Ulfa, kukatakan padanya kalau aku sudah tiba di terminal.

     Tak berapa lama, dari jauh kulihat Ulfa datang. Wajah polosnya tampak kebingungan tengok kanan kiri mencariku. Lega rasanya melihat Ulfa datang, "cantik sekali dia," khayalku dalam hati; dengan rambut lurus panjang yang selalu dibiarkan terurai dan tubuh kecilnya membuat dia makin manis. "Kok rasanya kangen sekali," begitu rasanya dihatiku. Dua minggu tak bertemu dengannya, rasanya seperti sudah berbeda. Hahhh --- segera kuhentikan khayalanku, kemudian bergegas menghampirinya sambil berteriak memanggil-manggil namanya, takut Ulfa tak melihatku karena begitu ramainya suasana.

     "ULFAAAAA! ... DISINIIIII ... WOOOIIII ... ULFAAAA! ..." Teriaku sambil melambaikan tangan. Akhirnya ia melihat, kemudian berlari kecil menghampiri.

     "HHhhhhhh, akhirnya ketemu juga," kata Ulfa terengah kelelahan.

     "Terus, kemana kita nih, Langsung pulang ke Bandung? kan tugasku jemput doang " Tanyaku sewot.

     "Xixixii, kok asem gitu nanyanya, ngambek ya? Hhhhhh, lega ada kawan, akhirnya bisa pulang, huhh," Kata Ulfa senang.

     "Malah nyengir lagi, udah bikin susah orang," jawabku.

     "Ciyeeeee, yang lagi ngambek, xixixixii ... " kata Ulfa menggodaku.

     "Sudah ah, sekarang serius nih, kemana lagi kita?" Tanyaku lagi,

     "Ih, kok ngambeknya lama sih, ya udah, Ke Penginapan dulu aja lah, ngerepeeeeet terus, ayokk" Jawab Ulfa sambil menarik tanganku.

     "Eh ... eh ... tunggu dulu! Aku tak punya cukup uang, mending langsung pulang aja? Kubantuin beres-beres". Kataku menolak tarikannya.

     "Halah, nyantai aja Cha, Penginapan udah dibayar sama suamiku buat satu bulan, sayang kan ditinggalin gitu aja. Lagian emang kamu nggak cape?" Ulfa balik bertanya.

     "Bukan gitu Fa, nggak enak juga kali, kita nginap berdua -- ahh, Ya Allah, terserah kamu aja lah, aku capek," Jawabku tak sanggup berpikir lagi.

     Kamipun terus berdebat sepanjang perjalanan menuju Penginapan yang jaraknya lumayan jauh bila berjalan kaki. Tak sempat kunikmati suasana disekitarku, padahal ini kali pertama aku datang ke kota ini. Dalam pikiranku hanya ada rasa gemas pada Ulfa, sepertinya kemarin di telpon ia panik sekali, eh --- kok terlihat nyantai saja ketika aku tiba.

     "Emang suamimu kemana sih? Bikin susah orang aja," kataku melanjutkan pertanyaan.

     "Udah ah, nggak usah ngomongin dia, biasanya juga gitu, terserah apa urusannya, aku nggak peduli," kata Ulfa.

     "Astagfirullah Fa ... hmmhhh ..." kataku menarik nafas panjang, malas mendebatnya lagi.

     Kami terus berjalan santai sambil sesekali berbincang menyusuri padatnya kota, sampai akhirnya Ulfa menarikku masuk ke sebuah jalan kecil. Dan tak sampai seratus meter kami tiba didepan sebuah Homestay atau Cottage yang cukup besar dan asri dengan taman disekelilingnya, yang pasti dirawat dengan baik hingga tampak indah. Yang jelas ini bukan penginapan kelas melati atau Hotel berbintang.

     "(Wahh, cantik sekali, pasti mahal suami Ulfa bayar sewanya, widiiih ... )" kataku dalam hati.

     "Ini tempatnya Cha," kata Ulfa menarik lagi lenganku, hingga terkejut membuyarkan lamunanku.

     Tak berlama-lama kamipun segera masuk, kulihat  ruangannya begitu cantik dengan arsitektur klasik dan banyak ukiran kayu bahkan sampai ke dindingnya. Tapi jujur saja suasananya sedikit sepi dan angker walau tak seangker rumahku, pantas saja bila Ulfa minta dikawani. Sepertinya tak banyak orang juga disini, hanya kulihat seorang Bapak yang sedang membersihkan taman, dengan mimik wajah dingin memaksakan tersenyum padaku. "Hiiiii, kok jadi merinding ya" kataku bicara sendiri dalam hati.

     "Cha, ke kamar yok, aku capek, kamu juga capek kan?," tanya Ulfa.

     "Ya Ampun, nggak mau ah, berduaan gitu dikamar, kamu aja sendiri sana. Aku istirahat disini saja, " kataku menolak.

     "Emang kita mau ngapain, cuma ngawanin aku doang ko, ayolah Cha, nggak enak disini, pliiiiss, lagian besok kita pulang, aku takut sendirian" kata Ulfa merajuk.

     Entah kenapa, aku tak pernah bisa menolak apabila Ulfa yang merajuk, dan akhirnya ku iyakan ajakannya.

     "Ya udah, iya-iya ..."

     "Nah gitu dong, dari tadi kek, nggak usah selalu berantem dulu, hehee," kata Ulfa gembira.

     Kamipun masuk kedalam kamar. Kamar yang lumayan besar, lengkap dengan sebuah kamar mandi didalam dan sebuah TV persis didepan kasur. Didindingnya ada sebuah lukisan romantis, Menggambarkan suasana jalanan kota lama.

     "Wah, aku tidur dimana Fa? Kasurnya cuma satu, mending aku diruang depan aja ya?" Pintaku lagi.

     "Ya ampun Cha, gitu aja ribet banget, kalau nggak mau dikasur -- ya dibawahlah, yang penting kawanin aku, nih pake ini aja buat alas kamu tidur," jawab Ulfa sembari memberikan kain selimut padaku.

    "Iya-iya, Siap Nyonya! ..." jawabku mencandainya.

     "Awas ya, nanti malam aku tidur, jangan macam-macam, xixixixii ..." Kata Ulfa membalas candaku.

     "Ciyeeeee, siapa juga yang mau sama emak-emak, enak di dirimu dong Fa -- diriku kan bujang tulen, Hahahaha," kataku tak tahan menahan tawa.

    "Idiiih, Jahat sekali,," jawab Ulfa cemberut.

     Begitu terlena rasanya kami berbincang melepas kangen, hingga tak terasa kulihat keluar jendela sudah larut malam.

     "Punya uang lebih nggak Cha? Beli cemilan gih," tanya Ulfa tiba-tiba.

     "Ya ada- lah, " jawabku.

     "Tapi, masa sih di rumah segede ini, nggak ada makanannya" sambungku lagi -- heran.

     "Haduuuh Cha, kalau ada, dari tadi udah aku masakin. Suamiku juga aneh, masa dompetku sama isinya pun dia bawa, takut aku kabur kali ya Cha, hahahahaaa," jawab Ulfa

     "Udah ah, nggak usah nyalahin orang, lu aja yang bego," kataku tiba-tiba kesal.

     Tak banyak bicara lagi, akupun beranjak dari tempatku  merebahkan diri, takut malam semakin larut dan tak ada warung yang buka.

     "Aku pergi dulu ya, awas tuh ada yang intip dari kamar mandi, -- bang bokiiiiirr--- bang bokiiiiiiir, hhihihihihiii,, Hahahahaa," kataku menakuti Ulfa kemudian berlari keluar menjauhi Ulfa yang pastinya kesal

     "Iihhh,, udah ah, garing tahu, cepat pigi sana" jawab Ulfa sebal kemudian membanting pintu.

     Hhhhhhh --- senang sekali rasanya, sudah lama kami tak bercanda.

     Tak berapa lama aku keluar dari tempat kami menginap, aku tiba disebuah warung pinggir jalan yang mungkin buka 24 jam, kulihat begitu banyak pemuda yang sedang asik nongkrong mengobrol dengan bahasa yang tidak aku mengerti, membuatku sedikit kurang nyaman dan tak mau berlama-lama. Akupun memilih-milih cemilan sekedar pengganjal perut, dan ketika hendak kubayar --- ASTAGFIRULLAH ... jantungku seperti berhenti --- jaketku ketinggalan di Bus.

     Uang untuk tiket pulang kami kusimpan dalam jaket, memang sengaja kupisahkan, dan yang tersisa hanya sedikit uang didompetku yang tak seberapa.

     Allahu Akbar -- aku seperti mati rasa. Setelah kuambil bungkusan jajananku, akupun kembali ke rumah tempat kami menginap, mencoba tak panik dan memikirkan apa yang harus kulakukan.

     "Ketemu warungnya Cha?" Tanya Ulfa begitu melihatku masuk kamar.

     "Ketemu atuh, nih cepet makan dulu, " jawabku

     Kami berdua kembali berbincang sembari menghabiskan cemilan yang baru saja kubeli. Tapi hatiku tak tenang, aku tak tega bercerita pada Ulfa kalau ongkos buat tiket kami pulang hilang. Kulihat Ulfa terus melahap cemilannya sembari mengajaku bicara dengan raut gembira. Dia tak tahu hatiku sedih, dan pasti diapun akan sedih -- hmhhh, Ya Allah.

                       ***

     Sudah tengah malam, benar-benar tak terasa. Kulihat Ulfa begitu nyenyak tertidur mungkin karena lelahnya hari ini. Rasanya seperti bermimpi malam ini aku punya teman tidur, walaupun aku dibawah dan Ulfa dikasur. Menatap Ulfa yang masih saja cantik walau tengah pulas, sekejap aku lupa kalau besok kami tak bisa pulang.

                     ***

Inikah yang terjadi,
Saat disisi indah,
Tapi pekat perih menghujam didadaku,
Menatapmu terlelap,
Menatapmu senyum tak lelah,
Memelukmu hanya untuk berpisah,
Kini keningmu menggodaku tuk kukecup,
Tapi jadi petaka bila kugugu,
Dan aku ingin terhormat menyayangimu,
Biar bukan cinta ...

                       ***

    

    

    
    
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sakit Hati

Dan semenjak itu mungkin aku bisa tertawa tapi tak setegas dulu Dan Setelah itu mungkin aku bisa bicara tapi tak cerewet seperti kemarin Dan...