Selasa, 24 Oktober 2017

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 1

     Seminggu berlalu sesudah tragedi hadiah kasetku. Tak habis pikir, sekarang Ulfa masuk dalam Blacklist catatan hari-hari. Terkadang kupikir lucu juga, Berbulan-bulan mengejar cintanya dan akhirnya seperti ini. Hmhhhh ... Jadi teringat kata kawanku dulu; ngapain mesti mencintai, toh ujungnya cuma merindu nggak puguh. Hanya menanti, berharap, menunggu dan kecewa. Tetapi anggapanku lain dengannya, aku sudah terbiasa kecewa, nggak dicintai juga sudah biasa, jadi apa yang hilang? Kenapa mesti merasa kurang? Semuanya biasa saja. Dulu tak ada sekarang masih tak ada, dan aku masih tetap percaya cinta akan datang suatu hari tanpa harus aku nanti.

     "Hmmmhhhh, insha Allah," Kusugesti diri sendiri mengurangi rasa sakitku sembari mereguk kopi hitam buatanku sendiri sambil sesekali memandangi bingkai kosong didinding kamarku yang dulu pernah ada photonya. Photo seorang wanita yang tak pernah ingin kusebutkan lagi namanya, Photo seorang wanita yang dulu pernah menulis di buku catatanku 'Aku cinta kamu 100 persen ...' halahhh ... kampret! Kenyataannya dia pergi juga.

     Lama aku mengkhayal apa yang tak seharusnya aku khayalkan didalam sepinya kamar dekilku. Tentang cinta dulu, tentang cinta sekarang, cinta nanti, diiringi nyanyian lagu-lagu sedih yang sengaja kuputar di radio tape compoku. Biar makin galau sekalian.

     ... mungkin inilah jalan yang terbaik, dan kita mesti relakan kenyataan ini ... (suara radio)

     "Hmmppp, lagunya Padi; " bisikku dalam hati. Aku jadi teringat pertama kali bertemu Ulfa kaset band Padi ini yang ia tawarkan. Tapi aku lebih memilih kaset Sheila, dan yang terjadi memang seperti judul lagunya Padi tentang aku dan Ulfa; kasih tak sampai.

     Kudiamkan diriku sejenak, dan seperti biasanya sebelum tidur aku menulis diary. Tak sedikit kawan-kawan yang menyindirku karena kebiasaanku ini. Katanya laki-laki tak pantas menulis di diary, tapi tak pernah kuanggap omongan mereka,  hingga sampai detik ini tampak menumpuk di meja kamarku buku-buku diary yang mulai kutulis sejak Tahun 97 saat aku masih kelas 1 SMA. Menurutku hari-hari itu penting dan tak akan kembali satu detikpun, mungkin saat tua nanti aku akan lupa pernah menulis didiary, tapi bisa kuingat lagi saat semuanya kubaca nanti.

     Sejenak dalam lamunan hampir saja aku terlelap ketiduran, namun dikagetkan suara ringtone panggilan masuk di ponselku. Kulihat dilayar ponsel rupanya itu nomor Ulfa.

     "Hahh! Ngapain dia nelfon aku?" Tanyaku sendiri heran.

     Sengaja tak kuangkat panggilan telpon dari Ulfa, tiga panggilan tak terjawab tampak dilayar ponsel. Bagiku cerita dengannya sudah berakhir tanpa perlu kuawali.

                  ***

Sungguh takkan ku gelisah,
Harap yang mati biarlah,
Cinta yang mati ya sudahlah,
Tak perlu kupikir,
Sebab bagiku anggap saja sarapan basi,
Biar aku kelaparan ...
Bukan tak suka ... bukan hasrat tak ingin,
Namun kau takkan pernah mampu kupinta,
Sekalipun dalam doa,
Dan tak pernah ingin
Kuhitamkan cintaku

                    ***

Bagian 2

     Sama sekali tanpa mimpi aku tertidur, mungkin saking nyenyaknya semalam, dan ritual pagiku seperti biasanya mencari-cari ponselku yang selalu kubawa tidur. Lama mencari dalam ngantuk, akhirnya kutemukan tergencet punggungku, entah bagaimana sampai disitu.

     Kulihat jam di ponsel pukul 08:10. Masih sangat pagi untuk pengangguran sepertiku, terlihat juga pemberitahuan ada pesan singkat, yang mungkin masuk saat aku masih terlelap tidur, akupun membukanya;

     [ ... Chapunk, ]

     SMS yang singkat hanya menuliskan namaku, tapi panjang pertanyaan diotakku yang disebabkannya. Sama sekali aku tak punya niat membalasnya, namun seperti kebetulan saja ponselku berbunyi saat hendak kusimpan. Entah karena masih ngantuk, spontan kuangkat tanpa melihat nomor siapa yang memanggilku.

     "/Assalamualaikum Aa, Pagi, /"

     "(Allahu Akbar ... )" kataku kaget dalam hati.

     "(Itu Ulfa, aduuuuh, ngapaiiiin lagi aku angkat)" gerutuku lagi. Tapi mau tak mau aku harus menjawabnya karena terlanjur kuangkat panggilannya.

     "Wa'alaikum salam, kenapa fa?" Jawabku sengaja serius supaya ia bete.

     "/Nggak apa-apa A, lagi bosen aja, hehee. Oh iya, kasetnya aku suka semua loh, tapi sebel A, kok aku jadi inget Aa ya,/" jawab Ulfa gombal.

     "Ya Udah buang semuanya fa, cuma buang waktu aja nambahin dosa," Kataku lurus.

     "/Iiih Aa, nggak usah gitu ngomongnya. Maafin ya kalau Ulfa salah," - tut ... tut .../(suara telpon dimatikan).

     Akhirnya ditutup juga telponnya. Jujur hatiku bingung antara senang, marah, benci, ah ... aku tak tahu. Tak kupungkiri aku suka padanya, tapi mustahil karena Ulfa sudah bersuami, aku masih punya batasan yang tak ingin aku langgar.

     "Nak! ... Naakk! ... bangun nak, sudah siang tu. Busuk matanya tidur terus kerjaanmu nak!" Kudengar Mamak memanggilku.

    "Iya Mak, sudah dari tadi kok ... " Jawabku sembari lemas beranjak.

Inilah nyatanya ...
Mimpi tak kupungkiri merengkuhku,
Namun tak sembarang hati bisa mencinta,
Hitam tak kugugu,
Hasrat tak kuaku,
Semalam biar jadi semalam,
Dan ini pagi
Masih banyak bayang bisa kupinta,
Walau aku belum pernah melihatnya.

                      ***
Bagian 3

     Waktupun berlalu, tanpa terasa beberapa bulan sudah kebersamaanku dengan Ulfa. Dia benar-benar gigih meluluhkan hatiku sampai akhirnya hubungan kami dekat. Tak pernah lagi kudengar panggilan 'Aa' untukku dari bibir imutnya seperti saat pertama kali kami bertemu, dan itu wajar saja, sebab kami hanya berteman, Ulfa yang sekarang adalah sahabatku.

     Alhamdulillah, selama ini aku bahagia berteman dengannya, hidupku sedikit lebih lengkap dengan kehadirannya. Allah sayang padaku hingga perlahan memudarkan perasaanku pada Ulfa supaya aku tak tersiksa. Banyak cibiran orang tentang hubungan kami tapi aku tak pernah peduli.

     Setelah sekian lama bersahabat, perlahan aku semakin tahu tentangnya, aku semakin tahu kisah Ulfa yang sebelumnya tak pernah aku duga. Awalnya akupun sempat tak percaya kalau rupanya Ulfa adalah istri simpanan seorang pejabat dari luar kota. Rasanya sedih harus mengetahui hal itu, bukan karena tentang perasaanku padanya, tapi karena aku ... ah tak tahu juga, Pokoknya aku benci, aku sungguh tak terima. Bila suaminya orang hebat, seorang yang mapan ditambah lagi ia seorang pejabat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, tapi kok tega menelantarkan istrinya seperti ini. Apapun status Ulfa, seharusnya suaminya menjaganya, membimbingnya agar menjadi baik, bukan malah menyembunyikannya dari mata dunia, dan cukup didatangi, dinafkahi hanya sekedar lewat saja, kayak orang numpang pipis. Astagfirullah, ahh ... aku tak tahan memikirkan itu, mencoba berpura-pura tak tahu, ngapain juga aku harus peduli masalah orang.

     "Nak! Ada Ulfa tuh ... " Kudengar Mamak memanggilku. Aku yang sedang menonton acara kartun favoritku segera beranjak hendak menghampirinya. Tapi belum sempat beranjak, Ulfa sudah terlebih dulu masuk membuka pintu.

     "Woi Cha ... kartuuuuun terus yang ditonton, kapan jadi orang gedenya sih kamu, nih ada eskrim, biar idup jadi manis dikit," katanya sambil menyodorkan sebatang eskrim padaku.

     "Halaaahhh, datang-datang nyerempet aja, kayak naek angkot. nggak mau ah,, sana ... sana iihh, sempit tahu, kayak nggak ada tempat lain aja, elu tuh,, udah emak-emak masih ngemut eskrim. Minggir, minggir, lagi seru nih" kataku menolak sembari mendorong Ulfa yang terus saja menjahiliku.

     "Yah, sia-sia kubeli, ya sudah buat aku aja,, hmm,, enak tau. Emang susah sukanya sih Cha, kalo lidah belum di update, tahunya cuma rasa gemblong doang, xixixixii," katanya lagi terus menggoda sambil menghalangi aku menonton TV.

     "Aduuuuuhh Ulfa, kok makin disengaja, awas minggir sana keburu habis, meuni riweuh pisan," Kataku makin kesal.

     "Iya ... iya maaf, sensi banget sih tiap aku dateng. O iya Cha, hari ini ke studio kan? Aku ikut ya?" Tanya Ulfa.

     "Biasanya juga ikut nggak nanya dulu," jawabku singkat.

     "Hmm, tapi sebelum ke studio, temani aku cari tiket ya? Suamiku sudah menungguku di Jogya, " Kata Ulfa lagi.

     (Sett ...) Mendengar itu spontan kutatap wajah Ulfa. Entah kenapa seakan aku tak suka, apa mungkin aku cemburu? Ahh, aku tak tahu. Tak kupungkiri Ulfa spesial dihatiku, walau memang bukan cinta yang mengikatnya. Dan aku tak mau kehilangan Ulfa.

     "Wah ... berapa lama? Kapan pulangnya Fa? " Kataku bertanya.

     "Belum juga pergi sudah nanya pulangnya, ya nggak tahu lah, semoga saja selamanya, hihihi ... aku kangeeeeen banget sama suamiku," Jawab Ulfa tersenyum sendiri.

     "Ciyeeee yang lagi seneng, hehee, Pulangnya bawa oleh-oleh ya? Sekalian salamin aku sama Katon atau Erros ya. Bilangin, kapan bisa manggung bareng, hahahaa," Kataku bercanda, padahal ada yang aneh dihatiku.

     Iya ... mungkin aku cemburu.

                       ***

Degup jantungku seperti bertanya,
Lewat detak yang melambat ...
Seperti bias warna yang selalu kutanyakan,
Tiada wajahku dimata cinta,
Tiada wajahmu ditatap rinduku,
Sekedar firasat takut,
Atau bisik nurani yang bohong,
Dan aku ...
Laki-laki yang kebingungan

                     ***

Bagian 4

     Singkat cerita, hampir dua minggu sudah Ulfa berada di Jogya, selama itu juga tak pernah kudengar kabar dari dia. Aku tak pernah berusaha menghubungi atau sekedar mengirimnya SMS. Dipikiranku mungkin dia tengah berbahagia bersama suaminya, sampai akhirnya Ponselku berbunyi bersamaan saat aku tengah mengingatnya. Seperti kebetulan saja Ulfa menelfonku, dan spontan langsung kujawab;

     "Ulfaaaaaaa, Halloo ... Assalamualaikum. Gimana kabarnya? Asik disana kan?" Jawabku langsung nyerocos saking senangnya Ulfa menelfonku. Tapi tanpa menjawab salamku Ulfa memotong;

     "/Chaaa! ... Tolong aku! Bisa datang kesini nggak?/" Kata Ulfa terdengar gemetar.

     "Ya Allah! Ada apa Fa? Kenapa Fa, suamimu mana?, aduuuuh, mana mungkin aku kesana, kan jauh Fa," Jawabku panik. Aku sungguh tak tahu harus menjawab apa.

     "/Pliiiiiiiis Cha! Panjang ceritanya. Aku sendiri nih, aku takuuuut, suamiku nggak ada. Cuma beberapa hari kita sama-sama, terus suamiku bilang ada urusan, sampe sekarang nggak datang lagi. Udah kuhubungi, nggak ada yang aktif nomornya. Chaaa ... aku mau pulaaaang,, tolooong, (hiks ...)/" Ulfa terdengar menangis, membuatku semakin tak karuan.

     "Ya sudah, aya-aya wae, tunggu aja disitu nggak usah kemana-mana, kamu hati-hati ya, aaaaaahh,, kamu mah, udah dulu ya, assalamualailkum," kataku kemudian menutup telponku.

     Aku terdiam menenangkan diri, kulihat jam dinding pukul 15:40. Aku bingung karena tak punya cukup bekal dan sama sekali aku tak tahu Jogya. Aku tak punya teman ataupun kerabat disana, aku tak pernah sekalipun kesana.

     "Haduuuuuuh ... gimana nih!" Keluhku dalam hati. Tak mau berpikir lagi segera kucari dompetku. Kuperiksa didalamnya hanya ada uang jajan yang masih jauh dari cukup, bahkan kurang untuk sekedar membeli tiket Bandung - Jogyakarta. Menyadari hal itu, aku bergegas keluar mencari kawan-kawanku mumpung hari belum gelap, dan alhamdulillah ada beberapa kawan yang memberiku pinjaman.

     Tak lama aku berkemas, singkat cerita aku telah sampai di terminal kota Bandung, begitu sumpek seperti sumpeknya pikiranku. Kulihat jam di Ponselku pukul 08:10 malam. Aku resah, aku tak tahu apa-apa tentang Jogya, apalagi bekalku pas-pasan membuatku gelisah takut terjadi apa-apa disana. Berkali kutarik nafas panjang sembari berbaur dengan bisingnya terminal mencoba menenangkan hati yang semakin tak karuan.

     "Hadooooooh, Ulfa siapa aku sih! Bikin pusing aja," kataku menggerutu sendiri. Tetapi bila terbayang dia tengah kesulitan di tempat jauh sana sendirian, aku semakin tak tega. Rasanya ingin segera sampai disana untuk menjemputnya, ternyata naluriku benar, pantas saja kemarin aku khawatir Ulfa pergi, rupanya akan begini.

     "Ahh, naluri ... naluri, nonsense ... segala sesuatu sudah Allah takdirkan," kataku menguatkan diri.

     Tak lama, Bus yang kutunggu datang berhenti tepat didepanku. Bus malam jurusan Bandung - Jogyakarta. Kutarik lagi nafas panjang, kemudian tanpa berpikir lagi aku masuk kedalam Bus.

     "Hmmm, Bissmillahirahmanirahim,"

     Aku duduk di kursi ketiga dari depan, sengaja kucari tempat didekat jendela agar aku bisa merokok, toh, ini bukan Bus AC. Tak peduli seandainya ada yang melarang. Sama-sama naik kelas ekonomi nggak usah banyak gaya, aku sedang jahat. Rasanya hampir setengah depresi, duduk mencoba menutup mata didalam Bus yang pengap sambil sesekali menghisap rokokku yang sudah tak kurasa lagi nikmatnya.

                       ***

Hebat ...
Sungguh rasa apa, yang yakinkan tuk berani.
Hati gemetar, namun kuharap kan terhormat.
Kututup telingaku dari bisingnya jalan,
Kututup hatiku dari takutnya tuju yang belum aku lihat,
Dan berisik disini ...
Aku ingin sepi,
Semoga bisa kuterlelap hingga aku sampai,
Hingga tak perlu kumaki lelahnya hari

                        ***

Bagian 5

     Hampir seharian penuh perjalananku dari Bandung menuju Jogyakarta, alhamdulillah tanpa terasa aku sampai juga. Tak enak sekali rasanya duduk berjam-jam didalam Bus. Rasanya antara sadar tak sadar, dengan kuping berdengung, dan remuk rasanya seluruh badan.

     Masih setengah pusing kupaksakan diriku berdiri untuk kemudian keluar berdesakan bersama puluhan penumpang lainnya yang ingin segera turun dari Bus.

     Layaknya sebuah perlombaan, kami semua ingin menjadi yang pertama keluar dari sumpek dan panasnya didalam.

     Setelah keluar dari Bus, pikiranku seperti kehilangan arah, dan hal pertama yang kurasakan adalah --- bingung --- Ramainya orang di Terminal membuatku semakin pusing dengan bahasa dan logat yang asing ditelingaku. Ditambah lagi dengan rayuan para calo taksi membuatku kepalaku serasa pecah ingin berteriak "Stoooppp!" Tapi tak mungkin kulakukan.

     "Aduuuuuuuh, apa yang harus kulakukan disini," kataku dalam hati. Kemudian kembali menghisap rokokku mencoba menenangkan diri.

     "Halaaahhhh, rokok sialan," gerutuku lagi sembari melempar puntung rokok sisa hisapanku yang masih cukup panjang. Aku benar-benar gelisah tak tahu harus berbuat apa, hanya berdiri mematung sambil mengamati sekitarku. Setelah hati  sedikit tenang, kuambil Ponsel yang selalu kusimpan dikantong kanan celana jins ku. Kemudian menghubungi Ulfa, kukatakan padanya kalau aku sudah tiba di terminal.

     Tak berapa lama, dari jauh kulihat Ulfa datang. Wajah polosnya tampak kebingungan tengok kanan kiri mencariku. Lega rasanya melihat Ulfa datang, "cantik sekali dia," khayalku dalam hati; dengan rambut lurus panjang yang selalu dibiarkan terurai dan tubuh kecilnya membuat dia makin manis. "Kok rasanya kangen sekali," begitu rasanya dihatiku. Dua minggu tak bertemu dengannya, rasanya seperti sudah berbeda. Hahhh --- segera kuhentikan khayalanku, kemudian bergegas menghampirinya sambil berteriak memanggil-manggil namanya, takut Ulfa tak melihatku karena begitu ramainya suasana.

     "ULFAAAAA! ... DISINIIIII ... WOOOIIII ... ULFAAAA! ..." Teriaku sambil melambaikan tangan. Akhirnya ia melihat, kemudian berlari kecil menghampiri.

     "HHhhhhhh, akhirnya ketemu juga," kata Ulfa terengah kelelahan.

     "Terus, kemana kita nih, Langsung pulang ke Bandung? kan tugasku jemput doang " Tanyaku sewot.

     "Xixixii, kok asem gitu nanyanya, ngambek ya? Hhhhhh, lega ada kawan, akhirnya bisa pulang, huhh," Kata Ulfa senang.

     "Malah nyengir lagi, udah bikin susah orang," jawabku.

     "Ciyeeeee, yang lagi ngambek, xixixixii ... " kata Ulfa menggodaku.

     "Sudah ah, sekarang serius nih, kemana lagi kita?" Tanyaku lagi,

     "Ih, kok ngambeknya lama sih, ya udah, Ke Penginapan dulu aja lah, ngerepeeeeet terus, ayokk" Jawab Ulfa sambil menarik tanganku.

     "Eh ... eh ... tunggu dulu! Aku tak punya cukup uang, mending langsung pulang aja? Kubantuin beres-beres". Kataku menolak tarikannya.

     "Halah, nyantai aja Cha, Penginapan udah dibayar sama suamiku buat satu bulan, sayang kan ditinggalin gitu aja. Lagian emang kamu nggak cape?" Ulfa balik bertanya.

     "Bukan gitu Fa, nggak enak juga kali, kita nginap berdua -- ahh, Ya Allah, terserah kamu aja lah, aku capek," Jawabku tak sanggup berpikir lagi.

     Kamipun terus berdebat sepanjang perjalanan menuju Penginapan yang jaraknya lumayan jauh bila berjalan kaki. Tak sempat kunikmati suasana disekitarku, padahal ini kali pertama aku datang ke kota ini. Dalam pikiranku hanya ada rasa gemas pada Ulfa, sepertinya kemarin di telpon ia panik sekali, eh --- kok terlihat nyantai saja ketika aku tiba.

     "Emang suamimu kemana sih? Bikin susah orang aja," kataku melanjutkan pertanyaan.

     "Udah ah, nggak usah ngomongin dia, biasanya juga gitu, terserah apa urusannya, aku nggak peduli," kata Ulfa.

     "Astagfirullah Fa ... hmmhhh ..." kataku menarik nafas panjang, malas mendebatnya lagi.

     Kami terus berjalan santai sambil sesekali berbincang menyusuri padatnya kota, sampai akhirnya Ulfa menarikku masuk ke sebuah jalan kecil. Dan tak sampai seratus meter kami tiba didepan sebuah Homestay atau Cottage yang cukup besar dan asri dengan taman disekelilingnya, yang pasti dirawat dengan baik hingga tampak indah. Yang jelas ini bukan penginapan kelas melati atau Hotel berbintang.

     "(Wahh, cantik sekali, pasti mahal suami Ulfa bayar sewanya, widiiih ... )" kataku dalam hati.

     "Ini tempatnya Cha," kata Ulfa menarik lagi lenganku, hingga terkejut membuyarkan lamunanku.

     Tak berlama-lama kamipun segera masuk, kulihat  ruangannya begitu cantik dengan arsitektur klasik dan banyak ukiran kayu bahkan sampai ke dindingnya. Tapi jujur saja suasananya sedikit sepi dan angker walau tak seangker rumahku, pantas saja bila Ulfa minta dikawani. Sepertinya tak banyak orang juga disini, hanya kulihat seorang Bapak yang sedang membersihkan taman, dengan mimik wajah dingin memaksakan tersenyum padaku. "Hiiiii, kok jadi merinding ya" kataku bicara sendiri dalam hati.

     "Cha, ke kamar yok, aku capek, kamu juga capek kan?," tanya Ulfa.

     "Ya Ampun, nggak mau ah, berduaan gitu dikamar, kamu aja sendiri sana. Aku istirahat disini saja, " kataku menolak.

     "Emang kita mau ngapain, cuma ngawanin aku doang ko, ayolah Cha, nggak enak disini, pliiiiss, lagian besok kita pulang, aku takut sendirian" kata Ulfa merajuk.

     Entah kenapa, aku tak pernah bisa menolak apabila Ulfa yang merajuk, dan akhirnya ku iyakan ajakannya.

     "Ya udah, iya-iya ..."

     "Nah gitu dong, dari tadi kek, nggak usah selalu berantem dulu, hehee," kata Ulfa gembira.

     Kamipun masuk kedalam kamar. Kamar yang lumayan besar, lengkap dengan sebuah kamar mandi didalam dan sebuah TV persis didepan kasur. Didindingnya ada sebuah lukisan romantis, Menggambarkan suasana jalanan kota lama.

     "Wah, aku tidur dimana Fa? Kasurnya cuma satu, mending aku diruang depan aja ya?" Pintaku lagi.

     "Ya ampun Cha, gitu aja ribet banget, kalau nggak mau dikasur -- ya dibawahlah, yang penting kawanin aku, nih pake ini aja buat alas kamu tidur," jawab Ulfa sembari memberikan kain selimut padaku.

    "Iya-iya, Siap Nyonya! ..." jawabku mencandainya.

     "Awas ya, nanti malam aku tidur, jangan macam-macam, xixixixii ..." Kata Ulfa membalas candaku.

     "Ciyeeeee, siapa juga yang mau sama emak-emak, enak di dirimu dong Fa -- diriku kan bujang tulen, Hahahaha," kataku tak tahan menahan tawa.

    "Idiiih, Jahat sekali,," jawab Ulfa cemberut.

     Begitu terlena rasanya kami berbincang melepas kangen, hingga tak terasa kulihat keluar jendela sudah larut malam.

     "Punya uang lebih nggak Cha? Beli cemilan gih," tanya Ulfa tiba-tiba.

     "Ya ada- lah, " jawabku.

     "Tapi, masa sih di rumah segede ini, nggak ada makanannya" sambungku lagi -- heran.

     "Haduuuh Cha, kalau ada, dari tadi udah aku masakin. Suamiku juga aneh, masa dompetku sama isinya pun dia bawa, takut aku kabur kali ya Cha, hahahahaaa," jawab Ulfa

     "Udah ah, nggak usah nyalahin orang, lu aja yang bego," kataku tiba-tiba kesal.

     Tak banyak bicara lagi, akupun beranjak dari tempatku  merebahkan diri, takut malam semakin larut dan tak ada warung yang buka.

     "Aku pergi dulu ya, awas tuh ada yang intip dari kamar mandi, -- bang bokiiiiirr--- bang bokiiiiiiir, hhihihihihiii,, Hahahahaa," kataku menakuti Ulfa kemudian berlari keluar menjauhi Ulfa yang pastinya kesal

     "Iihhh,, udah ah, garing tahu, cepat pigi sana" jawab Ulfa sebal kemudian membanting pintu.

     Hhhhhhh --- senang sekali rasanya, sudah lama kami tak bercanda.

     Tak berapa lama aku keluar dari tempat kami menginap, aku tiba disebuah warung pinggir jalan yang mungkin buka 24 jam, kulihat begitu banyak pemuda yang sedang asik nongkrong mengobrol dengan bahasa yang tidak aku mengerti, membuatku sedikit kurang nyaman dan tak mau berlama-lama. Akupun memilih-milih cemilan sekedar pengganjal perut, dan ketika hendak kubayar --- ASTAGFIRULLAH ... jantungku seperti berhenti --- jaketku ketinggalan di Bus.

     Uang untuk tiket pulang kami kusimpan dalam jaket, memang sengaja kupisahkan, dan yang tersisa hanya sedikit uang didompetku yang tak seberapa.

     Allahu Akbar -- aku seperti mati rasa. Setelah kuambil bungkusan jajananku, akupun kembali ke rumah tempat kami menginap, mencoba tak panik dan memikirkan apa yang harus kulakukan.

     "Ketemu warungnya Cha?" Tanya Ulfa begitu melihatku masuk kamar.

     "Ketemu atuh, nih cepet makan dulu, " jawabku

     Kami berdua kembali berbincang sembari menghabiskan cemilan yang baru saja kubeli. Tapi hatiku tak tenang, aku tak tega bercerita pada Ulfa kalau ongkos buat tiket kami pulang hilang. Kulihat Ulfa terus melahap cemilannya sembari mengajaku bicara dengan raut gembira. Dia tak tahu hatiku sedih, dan pasti diapun akan sedih -- hmhhh, Ya Allah.

                       ***

     Sudah tengah malam, benar-benar tak terasa. Kulihat Ulfa begitu nyenyak tertidur mungkin karena lelahnya hari ini. Rasanya seperti bermimpi malam ini aku punya teman tidur, walaupun aku dibawah dan Ulfa dikasur. Menatap Ulfa yang masih saja cantik walau tengah pulas, sekejap aku lupa kalau besok kami tak bisa pulang.

                     ***

Inikah yang terjadi,
Saat disisi indah,
Tapi pekat perih menghujam didadaku,
Menatapmu terlelap,
Menatapmu senyum tak lelah,
Memelukmu hanya untuk berpisah,
Kini keningmu menggodaku tuk kukecup,
Tapi jadi petaka bila kugugu,
Dan aku ingin terhormat menyayangimu,
Biar bukan cinta ...

     ***

Bagian 6

     Ini hari ketigaku di kota Jogya. Ulfa menjadi jarang bicara saat kukatakan padanya kalau uangku hilang hingga membuat kami belum bisa pulang, dan aku mengerti perasaannya.

     Disini kami tersiksa hanya makan satu kali sehari, itupun satu piring berdua yang memang gratis disediakan dalam paket penginapan.

     Aku kangen Mama. Rupanya beginilah rasanya jauh dari keluarga, ditambah lagi aku tak punya uang, aku tak bisa mencari uang.

     Aku tak tega melihat Ulfa hanya bisa melamun atau menonton Tv dikamar, terbersit dipikiranku, pantas saja aku belum punya kekasih atau istri. Allah sayang padaku, baru tiga hari saja begitu tersiksa melihat orang yang kusayangi kurang makan, apalagi kalau nanti berumah tangga --- tak berani aku membayangkannya.

     Mencoba tak banyak berpikir, kupaksakan mataku fokus menonton acara ceramah shubuh di tv tetapi malah membuatku semakin sedih dan teringat rumah. Ditambah lagi ustadz nya berceramah tentang bahaya zinah dan pergaulan bebas --- Ya Allah, aku benar-benar takut. Yang kulakukan ini dosa besar walau aku tak melakukan apa-apa.

     Ulfa itu istri orang, bagaimanapun suaminya aku tak berhak setitikpun masuk dalam kehidupannya, tapi malahan sekarang aku berduaan dengannya.

     Makin gelisah perasaanku. Sesekali kutatap Ulfa yang masih tertidur pulas hingga tak terasa hari sudah pagi dan mentari sudah memaksa masuk dari sela-sela gorden jendela yang belum aku buka.

     Aku kembali membaringkan tubuhku, tapi disela renunganku yang hampir menutup mataku lagi, sayup kudengar sepertinya seseorang tengah bermain gitar. Begitu cantik suaranya. Aku penasaran dan segera beranjak mencari darimana asal suara itu.

     Rupanya Bapak yang membersihkan taman kemarin, hebat sekali kulihat dia memainkan jemarinya memainkan gitar. Walau tanpa bernyanyi, indah sekali nada- nada klasik yang kudengar dari petikan gitarnya.

     Melihat itu seketika ideku muncul, bagaimana kalau kupinjam saja gitarnya kupakai mengamen, agar aku bisa mengumpulkan uang untuk ongkos pulang. Aku takut, tinggal semingguan lagi batas kami menginap disini. Aku takut makin lama menyiksa Ulfa, dan makin banyak juga aku berdosa.

     Tak berlama-lama kuberanikan diriku berbicara padanya, sambil basa-basi aku sedikit belajar beberapa kunci gitar darinya.

     Kuceritakan padanya tentang keadaanku hingga ia iba dan menawarkan memberiku ongkos pulang tetapi aku menolaknya. Aku tak sanggup membayarnya, dan belum tentu juga aku kembali ke kota ini. Kota Jogya yang tak terpikir sebelumnya untuk kusinggahi.

     Alhamdulillah, setelah lama santai berbincang, akhirnya dia mengerti dan bersedia meminjamkan gitarnya kepadaku. Kuberdoa dalam hati semoga Allah segera membalas kebaikannya -- amin.

                    ***

     Singkat cerita akupun nekad mengamen disekitar tempat kami menginap. Cukup ramai disini karena memang disini daerah wisata yang cukup terkenal.

     Inilah pengalaman pertamaku bernyanyi dijalanan. Biasanya aku pentas bersama saudara-saudaraku. Aku sungguh kangen mereka; Sammy, Rial, Balawan, Astri --- ahh, dan banyak lagi muncul wajah-wajah sahabatku.

     Aku gugup sekali saat akan mulai bernyanyi. Kukuatkan diriku dengan mengingat rasa kangenku pada Mama dan Papaku;

     "( Chapunk nggak bisa Ma, dirumah tak pernah susah kayak gini. Pa, maafin Chapunk juga ya Pa -- Chapunk selalu saja bikin Papa malu. MAMA ... PAPA ... doain Capunk ya. Capunk pengen pulang)" kataku menangis dalam hati. Kemudian mulai bernyanyi.

     Lambat - laun akupun mulai terbiasa dengan gitar pinjamanku. Mencoba berdamai dengan rasa malu hingga tak terasa separuh jalan sudah kususuri hampir sampai ke terminal lagi.

     Kumasuki tiap tempat dimana banyak orang berkumpul. Kujajaki tiap tempat yang kulihat ramai. Tanpa kata pembuka aku langsung bernyanyi. Aku tak bisa basa-basi layaknya para pengamen yang sering kulihat di Bus Damri di Kota Bandung. Tapi alhamdulillah -- orang-orang disini mengerti kalau aku sedang mengamen.

                      ***

     Benar kata pepatah dulu; bila melakukan sesuatu waktu takkan terasa berlalu. Seperti terhanyut, aku keasyikan mengamen hingga hampir maghrib. Aku tahu pasti Ulfa belum makan.

     Mengingat itu, aku putuskan sudah cukup mengamennya hari ini dan bergegas pulang ke tempat kami menginap. Berjalan kaki lagi sembari menghitung uang hasil mengamenku.

     "Hihihi, senang sekali -- lumayan ..." benar-benar aku bahagia. Ini uang hasil keringat pertamaku, walau sebelumnya sering aku manggung bersama Band ku, tapi jujur saja --- tak pernah dibayar.

     Rasanya begitu bangga sekali walaupun uangnya tak seberapa. Kubelikan nasi bungkus terlebih dahulu untuk kubawa pulang ke penginapan. Kasihan Ulfa dari pagi kutinggal sendiri. Tak tega mengingat itu, kucepatkan segera langkahku supaya lekas sampai.

     "Darimana Cha? Seharian nggak pulang --- kirain kabur ninggalin aku," tanya Ulfa cemberut begitu melihatku masuk kamar.

     "Hehee, pengen tahu aja ah. Nih makan dulu," jawabku sambil menyodorkan nasi bungkus dan beberapa cemilan yang kubelikan untuknya.

     "Wahh ... uang dari mana Cha? Kok banyak banget belinya?" Tanya Ulfa heran.

     "Aku tadi ngamen," jawabku singkat.

     "Emang kamu berani, Widiiiiihh --- nggak percaya ah. Kamu kan anak mami, ke tempat rame aja mesti dikawanin, hmmm," kata Ulfa masih tak percaya.

     "Ya maksain lah --- Emang kamu nggak kepingin pulang?" Kataku menyindir.

     "Yee ... ya mau lah! Haduuuuuuuh, nomor suamiku kok belum aktif juga sih ..."

     "Sudah makan dulu, kangennya belakangan saja," kataku memotong sambil membukakan nasi bungkus buat Ulfa, supaya ia segera memakannya.

     "Nyindir aja kamu mah! --- Cha, kira-kira suamiku lagi ngapain ya?"

     "Ya lagi sama anak istrinya lah. Ehh -- Maaf! ..." Jawabku terkejut spontan, menyadari kalau aku asal bicara.

     Aku mengira Ulfa akan marah, tapi dia hanya diam melanjutkan makannya.

     Menatap Ulfa yang kembali murung aku menjadi merasa bersalah. Ya Allah, kenapa mesti begini.

     Aku berpikir kalau saja aku yang menjadi suaminya, kalau saja aku yang sudah mapan, kalau saja aku dewasa dan pandai, kalau saja aku yang banyak uang. Aku takkan pernah menyiksanya seperti ini --- hmmmm.

                      ***

Salahkah aku iri,
Cinta untukku mahal, tak sanggup aku beli
Mungkin mudah mencintaiku,
Tapi mudahkah bila hidup denganku?
Pertanyaan yang tak bisa kujawab,
Dan sisi perihnya, jadi sudut yang menyiksa,
Hanya mengagumi pelangi,
Yang indahnya, takkan pernah aku sentuh

                       ***

Bagian 7

     Begitu kagetnya aku mimpi terjatuh, dan rupanya ini masih tengah malam. Kulihat jam dinding pukul 02:15 dini hari, dingin sekali malam ini. Kuintip Ulfa dikasur begitu cantiknya ia tidur dengan bibir yang terlihat manis.

     Ya Allah --- Hasratku tiba-tiba menggebu. Aku begitu gelisah, kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi -- kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi.

     Tubuhku semakin gemetar melawan hasrat kelelakianku, hingga akhirnya Ulfa terbangun menatapku.

     "Eeeeemmmmhhh, Kok nggak tidur Cha?" Tanya Ulfa melepas selimutnya.

     "Iya, baru kebangun, " jawabku.

     "Sudah, tidur disini saja, dingin disitu ya. Cepet naik ke kasur hmmmmhhh," sambung Ulfa masih tampak ngantuk.

     Aku diam sejenak, aku ingin tapi tak ingin. Aku tahu itu salah, aku tak bisa tidur seranjang dengannya. Aku laki-laki normal.

     " Nggak ah, aya-aya wae. Tidurin lagi tu," jawabku.

     Aku masih gelisah. Jujur -- malam ini begitu menyiksa. Hasratku terus menggoda agar aku ----- Ahh! Sekuat hati aku berdzikir memohon ampunan. Aku tahu Allah melihatku, aku yakin Allah mengerti hasratku sebagai manusia biasa. Sekuatnya aku ber istighfar meredakan nafsuku, hingga akhirnya aku terlelap tidur.

Kini basah ...
Mimpi jadi alir pipi,
Karena pekat gerimis dimata yang jelata,
Sekejap ingin kubunuh,
Sekejap hasrat kubuang jauh-jauh,
Menahan pekat hati tapi raga yang gemetar,
Menahan hitam cinta,
Dan hasrat yang gemetar ...

                   ***

     "Hooahhh,, Hmmhhhhh ..." enaknya bangun pagi dikamarku sendiri.

     IYA --- aku sudah di Bandung, terbangun dikamarku sendiri. Benar-benar pengalaman yang aneh, setelah hampir dua minggu berada di Jogya.

     Kotanya kuakui menyenangkan dengan orang-orang yang ramah, tapi keadaanku yang tak menyenangkan karena aku tak punya uang.

     Bila urusan makan dan hiburan masih mending tak terlalu sakit, tapi yang paling sulit adalah menahan hasrat malamku tidur dengan Ulfa tapi tak pernah terjadi apa-apa dalam 'tidur yang menyiksa' -- Huhhh dehh.

     Kami bisa pulang ke Bandung bukan karena hasil mengamenku, tapi uang dari suami Ulfa didetik akhir baru dia datang kayak polisi india. Aku heran, saat dia tiba di Jogya malah berterima kasih padaku karena sudah mau menemani Ulfa --- dasar suami yang aneh.

     "Hahhh, Sialan" kesal rasanya kalau mengingat hal itu.  Bukannya dari hari pertama dia datang terus ngasih duit buat Ulfa. tak perlu aku kesana sampai lahir batinku tersiksa.

     Sambil merasa-rasakan dinginku dalam selimut, aku masih terbayang kalau malam kemarin aku masih bersama Ulfa. Hihiii -- jadi ingin tertawa sendiri.

     "Oh iya! Aku masih punya uang," kataku bicara sendiri beranjak dari kasur untuk kemudian mengambil tas yang kemarin kubawa ke Jogya. Kuperiksa rupanya banyak sekali recehan, lumayan ... Kuhitung-hitung semuanya ada 180 ribu rupiah.

     "Aku beli apa ya? Inikan hasil susah," kataku dalam hati. Tak lama berpikir, aku teringat Ulfa.

     "Iya, aku cari uang ini untuk Ulfa, berarti ya harus untuk Ulfa. Beli apa ya?" Kataku lagi. Setelah berpikir sejenak, aku berniat membelikan Ulfa Sweater --- Hmmm.

     Singkat cerita aku pergi ke kota mencari sweater atau baju hangat yang hendak kubelikan untuk Ulfa. Kucari warna kesukaan Ulfa yaitu hijau. Tak lama mencari, akhirnya kupilih yang menurutku bagus dan pastinya cantik bila Ulfa yang memakainya.

     Seusai membeli Sweater, aku langsung menuju ke kosan Ulfa yang memang tak jauh dari toko tempat aku membeli sweater.

     Aku sudah terbiasa datang ke kosan Ulfa saat dia sedang libur, tapi kali ini aku tak memberitahu Ulfa terlebih dulu.

     "Kejutan ah," kataku mesam-mesem sendiri sambil terus berjalan memasuki gang-gang atau jalan-jalan tikus agar cepat sampai ke kosan Ulfa. Hingga tanpa terasa aku sudah sampai didepan pintu kosannya.

     Jendelanya kulihat masih tertutup, padahal hari sudah siang, lampu didalamnya juga mati.

     "Ulfa ada nggak ya? Kok sepi banget," kataku bicara sendiri heran.

     Aku tahu hari ini Ulfa belum masuk kerja, dan kulihat sandal sepatu coklat yang biasa ia pakai masih ada diluar pintu.

     "Tapi nggak ada suara sama sekali," kataku lagi dalam hati.

     Karena penasaran akupun membuka pintu kosan Ulfa, yang rupanya tak dikunci.

     "HAHHHHH, LAGI NGAPAIN KAMU FA!!! ... Aaaa ... apa ini ..." kataku gemetar.

     Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat. Ulfa setengah tak berbusana terperanjat kaget melihatku masuk. Dia tengah bergumul bersama seorang lelaki dan itu bukan suaminya.

     Sering kulihat laki-laki itu, Iya -- dia rekan kerja Ulfa di toko kaset.

     "Ehhh Cha!" Spontan Ulfa kaget sembari melepaskan diri dari laki-laki sialan itu.

     Tak lagi bisa berpikir, kujatuhkan sweater yang baru saja kubeli untuknya didalam kamar, dan aku bergegas keluar. Tak sudi rasanya melihat pemandangan laknat seperti itu.

     "Chaa ... Chaa ... dengar dulu Cha!" Teriak Ulfa sembari membetulkan pakaiannya.

     Aku mempercepat langkahku. Aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan. Dia bukan siapa-siapa aku. Kenapa aku harus sedih? Kenapa aku harus sakit?.

     Sambil terus menjauh aku berpikir; Mungkin cinta itu begitu rapuh, mungkin perasaan itu adalah bohong, mungkin kenyataan itu adalah sesuatu yang sialan ---- Arggghhh ...

     Ya! Aku tak boleh kecewa, aku tak boleh marah. Mungkin ini yang sering dikatakan Papaku 'Senja Yang Rapuh'. Akhir cinta yang lumpuh. Tanpa uang, tanpa hasrat, tanpa kebersamaan, tanpa perasaan, tanpa iman --- rapuh.

     Aku mempercepat langkah setengah berlari, ingin rasanya segera pergi. Kenapa aku menangis? Sialan --- kenapa aku harus nangis.

     Tak kupeduli lagi apa yang kulihat didepanku. Akhirnya aku berlari sekencangnya di tengah sibuknya kota.

     Rasanya sakit sekali. Cinta ... apa aku harus selalu mencintainya. Kutekan dadaku kuat-kuat. Tapi tetap ini sakit ... Sakit sekali.

Dan aku tak bisa lagi berpuisi,
Dalam dada rasa tak terlukiskan,
Entah apa yang merasuk,
Senja yang rapuh kualami sebelum kulalui,
Dibalik kidung perihnya,
Aku telah tahu rasanya,
SENJA YANG RAPUH ...

                    ~o0o~

~ Agung Saripudin

Kuncup Cemara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sakit Hati

Dan semenjak itu mungkin aku bisa tertawa tapi tak setegas dulu Dan Setelah itu mungkin aku bisa bicara tapi tak cerewet seperti kemarin Dan...