Selasa, 24 Oktober 2017

3. Aku dan Kisah

Bagian 1

     Rasanya seperti gila. Aku mengurung diri dikamar, tersenyum sendiri menutup wajahku dengan bantal. Menangis sejadinya bila teringat kejadian sore tadi di kosan Ulfa.

     "Semua orang Setaaaan! Aku benci hidupku," lirihku dalam hati.

     Rasanya ingin berteriak. Begitu lama kutenangkan diriku, sampai akhirnya aku capek menangis dan menatap kosong langit-langit kamarku.

     Kulirik jendela rupanya sudah gelap, entah jam berapa sekarang, mungkin sudah larut. Kulihat jam dinding diam tak berdetak lagi jarumnya, terhenti dipukul 14:10. Jam dindingku rupanya mati --- Apakah itu pertanda?.

     "Hahh! Nggak ada yang namanya pertanda --- Sinting!" Aku bergumam sendiri berdebat dengan isi pikiranku.

     Kuambil ponsel yang sedari tadi sengaja kumatikan. Aku berniat menghidupkannya lagi, tapi tak jadi karena aku tak ingin Ulfa menghubungiku.

     "ULFA ... " iiiih ... Nama itu --- begitu terlintas rasanya ingin kulempar ponselku. Tapi masih sayang juga, takut nggak kebeli lagi. Kayak banyak uang aja.

     "Hahahaa ... " aku tertawa girang sendiri kayak orang depresi. Kumiringkan posisi berbaringku. Tampak disamping kasur kulihat bingkai kosong yang tak ada Photonya. Aku jadi teringat, bingkai itu bekas photo Mitha, sisa kenanganku dengannya.

     "Mitha ... Mending kangen kamu, nggak sakit," aku tersenyum sendiri mengingatnya, seakan terbayang kisahku lagi saat masih SMA. Cinta dibalik seragam Putih Abu-abu, dibalik bingkai kosong itu.

     Tiga tahun aku pacaran dengan Mitha, dan kisah masa sekolahku di SMA dihabiskan hanya olehnya. Tapi kini dia sudah milik orang lain, dia dinikahi orang lain tanpa memberitahuku, tanpa sempat memutuskan aku.

     "Hahhh ... sama saja, sial kalian semua --- tapi aku kangeeen," bicaraku sendiri sembari memejamkan mataku yang masih saja basah, biar telah berkali aku seka.

Aku dan kisah ...
Yang dicorengi lagi hari lalu,
Tentang cinta yang tak bisa aku lihat,
Hanya dinding sepi dan nyeri,
Hanya bingkai kosong,
Tak pernah aku isi lagi ...
Tak ada lagi hangat yang aku rasakan,
Tak ada lagi ria redam yang aku harapkan,
Hanya dingin yang tak malu memelukku
Hanya hening ...
Yang mau mengecup bibirku.
Dan hanya santun sepi,
Yang ikhlas mendengarkan aku ...

                     ***

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 1

     Seminggu berlalu sesudah tragedi hadiah kasetku. Tak habis pikir, sekarang Ulfa masuk dalam Blacklist catatan hari-hari. Terkadang kupikir lucu juga, Berbulan-bulan mengejar cintanya dan akhirnya seperti ini. Hmhhhh ... Jadi teringat kata kawanku dulu; ngapain mesti mencintai, toh ujungnya cuma merindu nggak puguh. Hanya menanti, berharap, menunggu dan kecewa. Tetapi anggapanku lain dengannya, aku sudah terbiasa kecewa, nggak dicintai juga sudah biasa, jadi apa yang hilang? Kenapa mesti merasa kurang? Semuanya biasa saja. Dulu tak ada sekarang masih tak ada, dan aku masih tetap percaya cinta akan datang suatu hari tanpa harus aku nanti.

     "Hmmmhhhh, insha Allah," Kusugesti diri sendiri mengurangi rasa sakitku sembari mereguk kopi hitam buatanku sendiri sambil sesekali memandangi bingkai kosong didinding kamarku yang dulu pernah ada photonya. Photo seorang wanita yang tak pernah ingin kusebutkan lagi namanya, Photo seorang wanita yang dulu pernah menulis di buku catatanku 'Aku cinta kamu 100 persen ...' halahhh ... kampret! Kenyataannya dia pergi juga.

     Lama aku mengkhayal apa yang tak seharusnya aku khayalkan didalam sepinya kamar dekilku. Tentang cinta dulu, tentang cinta sekarang, cinta nanti, diiringi nyanyian lagu-lagu sedih yang sengaja kuputar di radio tape compoku. Biar makin galau sekalian.

     ... mungkin inilah jalan yang terbaik, dan kita mesti relakan kenyataan ini ... (suara radio)

     "Hmmppp, lagunya Padi; " bisikku dalam hati. Aku jadi teringat pertama kali bertemu Ulfa kaset band Padi ini yang ia tawarkan. Tapi aku lebih memilih kaset Sheila, dan yang terjadi memang seperti judul lagunya Padi tentang aku dan Ulfa; kasih tak sampai.

     Kudiamkan diriku sejenak, dan seperti biasanya sebelum tidur aku menulis diary. Tak sedikit kawan-kawan yang menyindirku karena kebiasaanku ini. Katanya laki-laki tak pantas menulis di diary, tapi tak pernah kuanggap omongan mereka,  hingga sampai detik ini tampak menumpuk di meja kamarku buku-buku diary yang mulai kutulis sejak Tahun 97 saat aku masih kelas 1 SMA. Menurutku hari-hari itu penting dan tak akan kembali satu detikpun, mungkin saat tua nanti aku akan lupa pernah menulis didiary, tapi bisa kuingat lagi saat semuanya kubaca nanti.

     Sejenak dalam lamunan hampir saja aku terlelap ketiduran, namun dikagetkan suara ringtone panggilan masuk di ponselku. Kulihat dilayar ponsel rupanya itu nomor Ulfa.

     "Hahh! Ngapain dia nelfon aku?" Tanyaku sendiri heran.

     Sengaja tak kuangkat panggilan telpon dari Ulfa, tiga panggilan tak terjawab tampak dilayar ponsel. Bagiku cerita dengannya sudah berakhir tanpa perlu kuawali.

                  ***

Sungguh takkan ku gelisah,
Harap yang mati biarlah,
Cinta yang mati ya sudahlah,
Tak perlu kupikir,
Sebab bagiku anggap saja sarapan basi,
Biar aku kelaparan ...
Bukan tak suka ... bukan hasrat tak ingin,
Namun kau takkan pernah mampu kupinta,
Sekalipun dalam doa,
Dan tak pernah ingin
Kuhitamkan cintaku

                    ***

Bagian 2

     Sama sekali tanpa mimpi aku tertidur, mungkin saking nyenyaknya semalam, dan ritual pagiku seperti biasanya mencari-cari ponselku yang selalu kubawa tidur. Lama mencari dalam ngantuk, akhirnya kutemukan tergencet punggungku, entah bagaimana sampai disitu.

     Kulihat jam di ponsel pukul 08:10. Masih sangat pagi untuk pengangguran sepertiku, terlihat juga pemberitahuan ada pesan singkat, yang mungkin masuk saat aku masih terlelap tidur, akupun membukanya;

     [ ... Chapunk, ]

     SMS yang singkat hanya menuliskan namaku, tapi panjang pertanyaan diotakku yang disebabkannya. Sama sekali aku tak punya niat membalasnya, namun seperti kebetulan saja ponselku berbunyi saat hendak kusimpan. Entah karena masih ngantuk, spontan kuangkat tanpa melihat nomor siapa yang memanggilku.

     "/Assalamualaikum Aa, Pagi, /"

     "(Allahu Akbar ... )" kataku kaget dalam hati.

     "(Itu Ulfa, aduuuuh, ngapaiiiin lagi aku angkat)" gerutuku lagi. Tapi mau tak mau aku harus menjawabnya karena terlanjur kuangkat panggilannya.

     "Wa'alaikum salam, kenapa fa?" Jawabku sengaja serius supaya ia bete.

     "/Nggak apa-apa A, lagi bosen aja, hehee. Oh iya, kasetnya aku suka semua loh, tapi sebel A, kok aku jadi inget Aa ya,/" jawab Ulfa gombal.

     "Ya Udah buang semuanya fa, cuma buang waktu aja nambahin dosa," Kataku lurus.

     "/Iiih Aa, nggak usah gitu ngomongnya. Maafin ya kalau Ulfa salah," - tut ... tut .../(suara telpon dimatikan).

     Akhirnya ditutup juga telponnya. Jujur hatiku bingung antara senang, marah, benci, ah ... aku tak tahu. Tak kupungkiri aku suka padanya, tapi mustahil karena Ulfa sudah bersuami, aku masih punya batasan yang tak ingin aku langgar.

     "Nak! ... Naakk! ... bangun nak, sudah siang tu. Busuk matanya tidur terus kerjaanmu nak!" Kudengar Mamak memanggilku.

    "Iya Mak, sudah dari tadi kok ... " Jawabku sembari lemas beranjak.

Inilah nyatanya ...
Mimpi tak kupungkiri merengkuhku,
Namun tak sembarang hati bisa mencinta,
Hitam tak kugugu,
Hasrat tak kuaku,
Semalam biar jadi semalam,
Dan ini pagi
Masih banyak bayang bisa kupinta,
Walau aku belum pernah melihatnya.

                      ***
Bagian 3

     Waktupun berlalu, tanpa terasa beberapa bulan sudah kebersamaanku dengan Ulfa. Dia benar-benar gigih meluluhkan hatiku sampai akhirnya hubungan kami dekat. Tak pernah lagi kudengar panggilan 'Aa' untukku dari bibir imutnya seperti saat pertama kali kami bertemu, dan itu wajar saja, sebab kami hanya berteman, Ulfa yang sekarang adalah sahabatku.

     Alhamdulillah, selama ini aku bahagia berteman dengannya, hidupku sedikit lebih lengkap dengan kehadirannya. Allah sayang padaku hingga perlahan memudarkan perasaanku pada Ulfa supaya aku tak tersiksa. Banyak cibiran orang tentang hubungan kami tapi aku tak pernah peduli.

     Setelah sekian lama bersahabat, perlahan aku semakin tahu tentangnya, aku semakin tahu kisah Ulfa yang sebelumnya tak pernah aku duga. Awalnya akupun sempat tak percaya kalau rupanya Ulfa adalah istri simpanan seorang pejabat dari luar kota. Rasanya sedih harus mengetahui hal itu, bukan karena tentang perasaanku padanya, tapi karena aku ... ah tak tahu juga, Pokoknya aku benci, aku sungguh tak terima. Bila suaminya orang hebat, seorang yang mapan ditambah lagi ia seorang pejabat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, tapi kok tega menelantarkan istrinya seperti ini. Apapun status Ulfa, seharusnya suaminya menjaganya, membimbingnya agar menjadi baik, bukan malah menyembunyikannya dari mata dunia, dan cukup didatangi, dinafkahi hanya sekedar lewat saja, kayak orang numpang pipis. Astagfirullah, ahh ... aku tak tahan memikirkan itu, mencoba berpura-pura tak tahu, ngapain juga aku harus peduli masalah orang.

     "Nak! Ada Ulfa tuh ... " Kudengar Mamak memanggilku. Aku yang sedang menonton acara kartun favoritku segera beranjak hendak menghampirinya. Tapi belum sempat beranjak, Ulfa sudah terlebih dulu masuk membuka pintu.

     "Woi Cha ... kartuuuuun terus yang ditonton, kapan jadi orang gedenya sih kamu, nih ada eskrim, biar idup jadi manis dikit," katanya sambil menyodorkan sebatang eskrim padaku.

     "Halaaahhh, datang-datang nyerempet aja, kayak naek angkot. nggak mau ah,, sana ... sana iihh, sempit tahu, kayak nggak ada tempat lain aja, elu tuh,, udah emak-emak masih ngemut eskrim. Minggir, minggir, lagi seru nih" kataku menolak sembari mendorong Ulfa yang terus saja menjahiliku.

     "Yah, sia-sia kubeli, ya sudah buat aku aja,, hmm,, enak tau. Emang susah sukanya sih Cha, kalo lidah belum di update, tahunya cuma rasa gemblong doang, xixixixii," katanya lagi terus menggoda sambil menghalangi aku menonton TV.

     "Aduuuuuhh Ulfa, kok makin disengaja, awas minggir sana keburu habis, meuni riweuh pisan," Kataku makin kesal.

     "Iya ... iya maaf, sensi banget sih tiap aku dateng. O iya Cha, hari ini ke studio kan? Aku ikut ya?" Tanya Ulfa.

     "Biasanya juga ikut nggak nanya dulu," jawabku singkat.

     "Hmm, tapi sebelum ke studio, temani aku cari tiket ya? Suamiku sudah menungguku di Jogya, " Kata Ulfa lagi.

     (Sett ...) Mendengar itu spontan kutatap wajah Ulfa. Entah kenapa seakan aku tak suka, apa mungkin aku cemburu? Ahh, aku tak tahu. Tak kupungkiri Ulfa spesial dihatiku, walau memang bukan cinta yang mengikatnya. Dan aku tak mau kehilangan Ulfa.

     "Wah ... berapa lama? Kapan pulangnya Fa? " Kataku bertanya.

     "Belum juga pergi sudah nanya pulangnya, ya nggak tahu lah, semoga saja selamanya, hihihi ... aku kangeeeeen banget sama suamiku," Jawab Ulfa tersenyum sendiri.

     "Ciyeeee yang lagi seneng, hehee, Pulangnya bawa oleh-oleh ya? Sekalian salamin aku sama Katon atau Erros ya. Bilangin, kapan bisa manggung bareng, hahahaa," Kataku bercanda, padahal ada yang aneh dihatiku.

     Iya ... mungkin aku cemburu.

                       ***

Degup jantungku seperti bertanya,
Lewat detak yang melambat ...
Seperti bias warna yang selalu kutanyakan,
Tiada wajahku dimata cinta,
Tiada wajahmu ditatap rinduku,
Sekedar firasat takut,
Atau bisik nurani yang bohong,
Dan aku ...
Laki-laki yang kebingungan

                     ***

Bagian 4

     Singkat cerita, hampir dua minggu sudah Ulfa berada di Jogya, selama itu juga tak pernah kudengar kabar dari dia. Aku tak pernah berusaha menghubungi atau sekedar mengirimnya SMS. Dipikiranku mungkin dia tengah berbahagia bersama suaminya, sampai akhirnya Ponselku berbunyi bersamaan saat aku tengah mengingatnya. Seperti kebetulan saja Ulfa menelfonku, dan spontan langsung kujawab;

     "Ulfaaaaaaa, Halloo ... Assalamualaikum. Gimana kabarnya? Asik disana kan?" Jawabku langsung nyerocos saking senangnya Ulfa menelfonku. Tapi tanpa menjawab salamku Ulfa memotong;

     "/Chaaa! ... Tolong aku! Bisa datang kesini nggak?/" Kata Ulfa terdengar gemetar.

     "Ya Allah! Ada apa Fa? Kenapa Fa, suamimu mana?, aduuuuh, mana mungkin aku kesana, kan jauh Fa," Jawabku panik. Aku sungguh tak tahu harus menjawab apa.

     "/Pliiiiiiiis Cha! Panjang ceritanya. Aku sendiri nih, aku takuuuut, suamiku nggak ada. Cuma beberapa hari kita sama-sama, terus suamiku bilang ada urusan, sampe sekarang nggak datang lagi. Udah kuhubungi, nggak ada yang aktif nomornya. Chaaa ... aku mau pulaaaang,, tolooong, (hiks ...)/" Ulfa terdengar menangis, membuatku semakin tak karuan.

     "Ya sudah, aya-aya wae, tunggu aja disitu nggak usah kemana-mana, kamu hati-hati ya, aaaaaahh,, kamu mah, udah dulu ya, assalamualailkum," kataku kemudian menutup telponku.

     Aku terdiam menenangkan diri, kulihat jam dinding pukul 15:40. Aku bingung karena tak punya cukup bekal dan sama sekali aku tak tahu Jogya. Aku tak punya teman ataupun kerabat disana, aku tak pernah sekalipun kesana.

     "Haduuuuuuh ... gimana nih!" Keluhku dalam hati. Tak mau berpikir lagi segera kucari dompetku. Kuperiksa didalamnya hanya ada uang jajan yang masih jauh dari cukup, bahkan kurang untuk sekedar membeli tiket Bandung - Jogyakarta. Menyadari hal itu, aku bergegas keluar mencari kawan-kawanku mumpung hari belum gelap, dan alhamdulillah ada beberapa kawan yang memberiku pinjaman.

     Tak lama aku berkemas, singkat cerita aku telah sampai di terminal kota Bandung, begitu sumpek seperti sumpeknya pikiranku. Kulihat jam di Ponselku pukul 08:10 malam. Aku resah, aku tak tahu apa-apa tentang Jogya, apalagi bekalku pas-pasan membuatku gelisah takut terjadi apa-apa disana. Berkali kutarik nafas panjang sembari berbaur dengan bisingnya terminal mencoba menenangkan hati yang semakin tak karuan.

     "Hadooooooh, Ulfa siapa aku sih! Bikin pusing aja," kataku menggerutu sendiri. Tetapi bila terbayang dia tengah kesulitan di tempat jauh sana sendirian, aku semakin tak tega. Rasanya ingin segera sampai disana untuk menjemputnya, ternyata naluriku benar, pantas saja kemarin aku khawatir Ulfa pergi, rupanya akan begini.

     "Ahh, naluri ... naluri, nonsense ... segala sesuatu sudah Allah takdirkan," kataku menguatkan diri.

     Tak lama, Bus yang kutunggu datang berhenti tepat didepanku. Bus malam jurusan Bandung - Jogyakarta. Kutarik lagi nafas panjang, kemudian tanpa berpikir lagi aku masuk kedalam Bus.

     "Hmmm, Bissmillahirahmanirahim,"

     Aku duduk di kursi ketiga dari depan, sengaja kucari tempat didekat jendela agar aku bisa merokok, toh, ini bukan Bus AC. Tak peduli seandainya ada yang melarang. Sama-sama naik kelas ekonomi nggak usah banyak gaya, aku sedang jahat. Rasanya hampir setengah depresi, duduk mencoba menutup mata didalam Bus yang pengap sambil sesekali menghisap rokokku yang sudah tak kurasa lagi nikmatnya.

                       ***

Hebat ...
Sungguh rasa apa, yang yakinkan tuk berani.
Hati gemetar, namun kuharap kan terhormat.
Kututup telingaku dari bisingnya jalan,
Kututup hatiku dari takutnya tuju yang belum aku lihat,
Dan berisik disini ...
Aku ingin sepi,
Semoga bisa kuterlelap hingga aku sampai,
Hingga tak perlu kumaki lelahnya hari

                        ***

Bagian 5

     Hampir seharian penuh perjalananku dari Bandung menuju Jogyakarta, alhamdulillah tanpa terasa aku sampai juga. Tak enak sekali rasanya duduk berjam-jam didalam Bus. Rasanya antara sadar tak sadar, dengan kuping berdengung, dan remuk rasanya seluruh badan.

     Masih setengah pusing kupaksakan diriku berdiri untuk kemudian keluar berdesakan bersama puluhan penumpang lainnya yang ingin segera turun dari Bus.

     Layaknya sebuah perlombaan, kami semua ingin menjadi yang pertama keluar dari sumpek dan panasnya didalam.

     Setelah keluar dari Bus, pikiranku seperti kehilangan arah, dan hal pertama yang kurasakan adalah --- bingung --- Ramainya orang di Terminal membuatku semakin pusing dengan bahasa dan logat yang asing ditelingaku. Ditambah lagi dengan rayuan para calo taksi membuatku kepalaku serasa pecah ingin berteriak "Stoooppp!" Tapi tak mungkin kulakukan.

     "Aduuuuuuuh, apa yang harus kulakukan disini," kataku dalam hati. Kemudian kembali menghisap rokokku mencoba menenangkan diri.

     "Halaaahhhh, rokok sialan," gerutuku lagi sembari melempar puntung rokok sisa hisapanku yang masih cukup panjang. Aku benar-benar gelisah tak tahu harus berbuat apa, hanya berdiri mematung sambil mengamati sekitarku. Setelah hati  sedikit tenang, kuambil Ponsel yang selalu kusimpan dikantong kanan celana jins ku. Kemudian menghubungi Ulfa, kukatakan padanya kalau aku sudah tiba di terminal.

     Tak berapa lama, dari jauh kulihat Ulfa datang. Wajah polosnya tampak kebingungan tengok kanan kiri mencariku. Lega rasanya melihat Ulfa datang, "cantik sekali dia," khayalku dalam hati; dengan rambut lurus panjang yang selalu dibiarkan terurai dan tubuh kecilnya membuat dia makin manis. "Kok rasanya kangen sekali," begitu rasanya dihatiku. Dua minggu tak bertemu dengannya, rasanya seperti sudah berbeda. Hahhh --- segera kuhentikan khayalanku, kemudian bergegas menghampirinya sambil berteriak memanggil-manggil namanya, takut Ulfa tak melihatku karena begitu ramainya suasana.

     "ULFAAAAA! ... DISINIIIII ... WOOOIIII ... ULFAAAA! ..." Teriaku sambil melambaikan tangan. Akhirnya ia melihat, kemudian berlari kecil menghampiri.

     "HHhhhhhh, akhirnya ketemu juga," kata Ulfa terengah kelelahan.

     "Terus, kemana kita nih, Langsung pulang ke Bandung? kan tugasku jemput doang " Tanyaku sewot.

     "Xixixii, kok asem gitu nanyanya, ngambek ya? Hhhhhh, lega ada kawan, akhirnya bisa pulang, huhh," Kata Ulfa senang.

     "Malah nyengir lagi, udah bikin susah orang," jawabku.

     "Ciyeeeee, yang lagi ngambek, xixixixii ... " kata Ulfa menggodaku.

     "Sudah ah, sekarang serius nih, kemana lagi kita?" Tanyaku lagi,

     "Ih, kok ngambeknya lama sih, ya udah, Ke Penginapan dulu aja lah, ngerepeeeeet terus, ayokk" Jawab Ulfa sambil menarik tanganku.

     "Eh ... eh ... tunggu dulu! Aku tak punya cukup uang, mending langsung pulang aja? Kubantuin beres-beres". Kataku menolak tarikannya.

     "Halah, nyantai aja Cha, Penginapan udah dibayar sama suamiku buat satu bulan, sayang kan ditinggalin gitu aja. Lagian emang kamu nggak cape?" Ulfa balik bertanya.

     "Bukan gitu Fa, nggak enak juga kali, kita nginap berdua -- ahh, Ya Allah, terserah kamu aja lah, aku capek," Jawabku tak sanggup berpikir lagi.

     Kamipun terus berdebat sepanjang perjalanan menuju Penginapan yang jaraknya lumayan jauh bila berjalan kaki. Tak sempat kunikmati suasana disekitarku, padahal ini kali pertama aku datang ke kota ini. Dalam pikiranku hanya ada rasa gemas pada Ulfa, sepertinya kemarin di telpon ia panik sekali, eh --- kok terlihat nyantai saja ketika aku tiba.

     "Emang suamimu kemana sih? Bikin susah orang aja," kataku melanjutkan pertanyaan.

     "Udah ah, nggak usah ngomongin dia, biasanya juga gitu, terserah apa urusannya, aku nggak peduli," kata Ulfa.

     "Astagfirullah Fa ... hmmhhh ..." kataku menarik nafas panjang, malas mendebatnya lagi.

     Kami terus berjalan santai sambil sesekali berbincang menyusuri padatnya kota, sampai akhirnya Ulfa menarikku masuk ke sebuah jalan kecil. Dan tak sampai seratus meter kami tiba didepan sebuah Homestay atau Cottage yang cukup besar dan asri dengan taman disekelilingnya, yang pasti dirawat dengan baik hingga tampak indah. Yang jelas ini bukan penginapan kelas melati atau Hotel berbintang.

     "(Wahh, cantik sekali, pasti mahal suami Ulfa bayar sewanya, widiiih ... )" kataku dalam hati.

     "Ini tempatnya Cha," kata Ulfa menarik lagi lenganku, hingga terkejut membuyarkan lamunanku.

     Tak berlama-lama kamipun segera masuk, kulihat  ruangannya begitu cantik dengan arsitektur klasik dan banyak ukiran kayu bahkan sampai ke dindingnya. Tapi jujur saja suasananya sedikit sepi dan angker walau tak seangker rumahku, pantas saja bila Ulfa minta dikawani. Sepertinya tak banyak orang juga disini, hanya kulihat seorang Bapak yang sedang membersihkan taman, dengan mimik wajah dingin memaksakan tersenyum padaku. "Hiiiii, kok jadi merinding ya" kataku bicara sendiri dalam hati.

     "Cha, ke kamar yok, aku capek, kamu juga capek kan?," tanya Ulfa.

     "Ya Ampun, nggak mau ah, berduaan gitu dikamar, kamu aja sendiri sana. Aku istirahat disini saja, " kataku menolak.

     "Emang kita mau ngapain, cuma ngawanin aku doang ko, ayolah Cha, nggak enak disini, pliiiiss, lagian besok kita pulang, aku takut sendirian" kata Ulfa merajuk.

     Entah kenapa, aku tak pernah bisa menolak apabila Ulfa yang merajuk, dan akhirnya ku iyakan ajakannya.

     "Ya udah, iya-iya ..."

     "Nah gitu dong, dari tadi kek, nggak usah selalu berantem dulu, hehee," kata Ulfa gembira.

     Kamipun masuk kedalam kamar. Kamar yang lumayan besar, lengkap dengan sebuah kamar mandi didalam dan sebuah TV persis didepan kasur. Didindingnya ada sebuah lukisan romantis, Menggambarkan suasana jalanan kota lama.

     "Wah, aku tidur dimana Fa? Kasurnya cuma satu, mending aku diruang depan aja ya?" Pintaku lagi.

     "Ya ampun Cha, gitu aja ribet banget, kalau nggak mau dikasur -- ya dibawahlah, yang penting kawanin aku, nih pake ini aja buat alas kamu tidur," jawab Ulfa sembari memberikan kain selimut padaku.

    "Iya-iya, Siap Nyonya! ..." jawabku mencandainya.

     "Awas ya, nanti malam aku tidur, jangan macam-macam, xixixixii ..." Kata Ulfa membalas candaku.

     "Ciyeeeee, siapa juga yang mau sama emak-emak, enak di dirimu dong Fa -- diriku kan bujang tulen, Hahahaha," kataku tak tahan menahan tawa.

    "Idiiih, Jahat sekali,," jawab Ulfa cemberut.

     Begitu terlena rasanya kami berbincang melepas kangen, hingga tak terasa kulihat keluar jendela sudah larut malam.

     "Punya uang lebih nggak Cha? Beli cemilan gih," tanya Ulfa tiba-tiba.

     "Ya ada- lah, " jawabku.

     "Tapi, masa sih di rumah segede ini, nggak ada makanannya" sambungku lagi -- heran.

     "Haduuuh Cha, kalau ada, dari tadi udah aku masakin. Suamiku juga aneh, masa dompetku sama isinya pun dia bawa, takut aku kabur kali ya Cha, hahahahaaa," jawab Ulfa

     "Udah ah, nggak usah nyalahin orang, lu aja yang bego," kataku tiba-tiba kesal.

     Tak banyak bicara lagi, akupun beranjak dari tempatku  merebahkan diri, takut malam semakin larut dan tak ada warung yang buka.

     "Aku pergi dulu ya, awas tuh ada yang intip dari kamar mandi, -- bang bokiiiiirr--- bang bokiiiiiiir, hhihihihihiii,, Hahahahaa," kataku menakuti Ulfa kemudian berlari keluar menjauhi Ulfa yang pastinya kesal

     "Iihhh,, udah ah, garing tahu, cepat pigi sana" jawab Ulfa sebal kemudian membanting pintu.

     Hhhhhhh --- senang sekali rasanya, sudah lama kami tak bercanda.

     Tak berapa lama aku keluar dari tempat kami menginap, aku tiba disebuah warung pinggir jalan yang mungkin buka 24 jam, kulihat begitu banyak pemuda yang sedang asik nongkrong mengobrol dengan bahasa yang tidak aku mengerti, membuatku sedikit kurang nyaman dan tak mau berlama-lama. Akupun memilih-milih cemilan sekedar pengganjal perut, dan ketika hendak kubayar --- ASTAGFIRULLAH ... jantungku seperti berhenti --- jaketku ketinggalan di Bus.

     Uang untuk tiket pulang kami kusimpan dalam jaket, memang sengaja kupisahkan, dan yang tersisa hanya sedikit uang didompetku yang tak seberapa.

     Allahu Akbar -- aku seperti mati rasa. Setelah kuambil bungkusan jajananku, akupun kembali ke rumah tempat kami menginap, mencoba tak panik dan memikirkan apa yang harus kulakukan.

     "Ketemu warungnya Cha?" Tanya Ulfa begitu melihatku masuk kamar.

     "Ketemu atuh, nih cepet makan dulu, " jawabku

     Kami berdua kembali berbincang sembari menghabiskan cemilan yang baru saja kubeli. Tapi hatiku tak tenang, aku tak tega bercerita pada Ulfa kalau ongkos buat tiket kami pulang hilang. Kulihat Ulfa terus melahap cemilannya sembari mengajaku bicara dengan raut gembira. Dia tak tahu hatiku sedih, dan pasti diapun akan sedih -- hmhhh, Ya Allah.

                       ***

     Sudah tengah malam, benar-benar tak terasa. Kulihat Ulfa begitu nyenyak tertidur mungkin karena lelahnya hari ini. Rasanya seperti bermimpi malam ini aku punya teman tidur, walaupun aku dibawah dan Ulfa dikasur. Menatap Ulfa yang masih saja cantik walau tengah pulas, sekejap aku lupa kalau besok kami tak bisa pulang.

                     ***

Inikah yang terjadi,
Saat disisi indah,
Tapi pekat perih menghujam didadaku,
Menatapmu terlelap,
Menatapmu senyum tak lelah,
Memelukmu hanya untuk berpisah,
Kini keningmu menggodaku tuk kukecup,
Tapi jadi petaka bila kugugu,
Dan aku ingin terhormat menyayangimu,
Biar bukan cinta ...

     ***

Bagian 6

     Ini hari ketigaku di kota Jogya. Ulfa menjadi jarang bicara saat kukatakan padanya kalau uangku hilang hingga membuat kami belum bisa pulang, dan aku mengerti perasaannya.

     Disini kami tersiksa hanya makan satu kali sehari, itupun satu piring berdua yang memang gratis disediakan dalam paket penginapan.

     Aku kangen Mama. Rupanya beginilah rasanya jauh dari keluarga, ditambah lagi aku tak punya uang, aku tak bisa mencari uang.

     Aku tak tega melihat Ulfa hanya bisa melamun atau menonton Tv dikamar, terbersit dipikiranku, pantas saja aku belum punya kekasih atau istri. Allah sayang padaku, baru tiga hari saja begitu tersiksa melihat orang yang kusayangi kurang makan, apalagi kalau nanti berumah tangga --- tak berani aku membayangkannya.

     Mencoba tak banyak berpikir, kupaksakan mataku fokus menonton acara ceramah shubuh di tv tetapi malah membuatku semakin sedih dan teringat rumah. Ditambah lagi ustadz nya berceramah tentang bahaya zinah dan pergaulan bebas --- Ya Allah, aku benar-benar takut. Yang kulakukan ini dosa besar walau aku tak melakukan apa-apa.

     Ulfa itu istri orang, bagaimanapun suaminya aku tak berhak setitikpun masuk dalam kehidupannya, tapi malahan sekarang aku berduaan dengannya.

     Makin gelisah perasaanku. Sesekali kutatap Ulfa yang masih tertidur pulas hingga tak terasa hari sudah pagi dan mentari sudah memaksa masuk dari sela-sela gorden jendela yang belum aku buka.

     Aku kembali membaringkan tubuhku, tapi disela renunganku yang hampir menutup mataku lagi, sayup kudengar sepertinya seseorang tengah bermain gitar. Begitu cantik suaranya. Aku penasaran dan segera beranjak mencari darimana asal suara itu.

     Rupanya Bapak yang membersihkan taman kemarin, hebat sekali kulihat dia memainkan jemarinya memainkan gitar. Walau tanpa bernyanyi, indah sekali nada- nada klasik yang kudengar dari petikan gitarnya.

     Melihat itu seketika ideku muncul, bagaimana kalau kupinjam saja gitarnya kupakai mengamen, agar aku bisa mengumpulkan uang untuk ongkos pulang. Aku takut, tinggal semingguan lagi batas kami menginap disini. Aku takut makin lama menyiksa Ulfa, dan makin banyak juga aku berdosa.

     Tak berlama-lama kuberanikan diriku berbicara padanya, sambil basa-basi aku sedikit belajar beberapa kunci gitar darinya.

     Kuceritakan padanya tentang keadaanku hingga ia iba dan menawarkan memberiku ongkos pulang tetapi aku menolaknya. Aku tak sanggup membayarnya, dan belum tentu juga aku kembali ke kota ini. Kota Jogya yang tak terpikir sebelumnya untuk kusinggahi.

     Alhamdulillah, setelah lama santai berbincang, akhirnya dia mengerti dan bersedia meminjamkan gitarnya kepadaku. Kuberdoa dalam hati semoga Allah segera membalas kebaikannya -- amin.

                    ***

     Singkat cerita akupun nekad mengamen disekitar tempat kami menginap. Cukup ramai disini karena memang disini daerah wisata yang cukup terkenal.

     Inilah pengalaman pertamaku bernyanyi dijalanan. Biasanya aku pentas bersama saudara-saudaraku. Aku sungguh kangen mereka; Sammy, Rial, Balawan, Astri --- ahh, dan banyak lagi muncul wajah-wajah sahabatku.

     Aku gugup sekali saat akan mulai bernyanyi. Kukuatkan diriku dengan mengingat rasa kangenku pada Mama dan Papaku;

     "( Chapunk nggak bisa Ma, dirumah tak pernah susah kayak gini. Pa, maafin Chapunk juga ya Pa -- Chapunk selalu saja bikin Papa malu. MAMA ... PAPA ... doain Capunk ya. Capunk pengen pulang)" kataku menangis dalam hati. Kemudian mulai bernyanyi.

     Lambat - laun akupun mulai terbiasa dengan gitar pinjamanku. Mencoba berdamai dengan rasa malu hingga tak terasa separuh jalan sudah kususuri hampir sampai ke terminal lagi.

     Kumasuki tiap tempat dimana banyak orang berkumpul. Kujajaki tiap tempat yang kulihat ramai. Tanpa kata pembuka aku langsung bernyanyi. Aku tak bisa basa-basi layaknya para pengamen yang sering kulihat di Bus Damri di Kota Bandung. Tapi alhamdulillah -- orang-orang disini mengerti kalau aku sedang mengamen.

                      ***

     Benar kata pepatah dulu; bila melakukan sesuatu waktu takkan terasa berlalu. Seperti terhanyut, aku keasyikan mengamen hingga hampir maghrib. Aku tahu pasti Ulfa belum makan.

     Mengingat itu, aku putuskan sudah cukup mengamennya hari ini dan bergegas pulang ke tempat kami menginap. Berjalan kaki lagi sembari menghitung uang hasil mengamenku.

     "Hihihi, senang sekali -- lumayan ..." benar-benar aku bahagia. Ini uang hasil keringat pertamaku, walau sebelumnya sering aku manggung bersama Band ku, tapi jujur saja --- tak pernah dibayar.

     Rasanya begitu bangga sekali walaupun uangnya tak seberapa. Kubelikan nasi bungkus terlebih dahulu untuk kubawa pulang ke penginapan. Kasihan Ulfa dari pagi kutinggal sendiri. Tak tega mengingat itu, kucepatkan segera langkahku supaya lekas sampai.

     "Darimana Cha? Seharian nggak pulang --- kirain kabur ninggalin aku," tanya Ulfa cemberut begitu melihatku masuk kamar.

     "Hehee, pengen tahu aja ah. Nih makan dulu," jawabku sambil menyodorkan nasi bungkus dan beberapa cemilan yang kubelikan untuknya.

     "Wahh ... uang dari mana Cha? Kok banyak banget belinya?" Tanya Ulfa heran.

     "Aku tadi ngamen," jawabku singkat.

     "Emang kamu berani, Widiiiiihh --- nggak percaya ah. Kamu kan anak mami, ke tempat rame aja mesti dikawanin, hmmm," kata Ulfa masih tak percaya.

     "Ya maksain lah --- Emang kamu nggak kepingin pulang?" Kataku menyindir.

     "Yee ... ya mau lah! Haduuuuuuuh, nomor suamiku kok belum aktif juga sih ..."

     "Sudah makan dulu, kangennya belakangan saja," kataku memotong sambil membukakan nasi bungkus buat Ulfa, supaya ia segera memakannya.

     "Nyindir aja kamu mah! --- Cha, kira-kira suamiku lagi ngapain ya?"

     "Ya lagi sama anak istrinya lah. Ehh -- Maaf! ..." Jawabku terkejut spontan, menyadari kalau aku asal bicara.

     Aku mengira Ulfa akan marah, tapi dia hanya diam melanjutkan makannya.

     Menatap Ulfa yang kembali murung aku menjadi merasa bersalah. Ya Allah, kenapa mesti begini.

     Aku berpikir kalau saja aku yang menjadi suaminya, kalau saja aku yang sudah mapan, kalau saja aku dewasa dan pandai, kalau saja aku yang banyak uang. Aku takkan pernah menyiksanya seperti ini --- hmmmm.

                      ***

Salahkah aku iri,
Cinta untukku mahal, tak sanggup aku beli
Mungkin mudah mencintaiku,
Tapi mudahkah bila hidup denganku?
Pertanyaan yang tak bisa kujawab,
Dan sisi perihnya, jadi sudut yang menyiksa,
Hanya mengagumi pelangi,
Yang indahnya, takkan pernah aku sentuh

                       ***

Bagian 7

     Begitu kagetnya aku mimpi terjatuh, dan rupanya ini masih tengah malam. Kulihat jam dinding pukul 02:15 dini hari, dingin sekali malam ini. Kuintip Ulfa dikasur begitu cantiknya ia tidur dengan bibir yang terlihat manis.

     Ya Allah --- Hasratku tiba-tiba menggebu. Aku begitu gelisah, kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi -- kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi.

     Tubuhku semakin gemetar melawan hasrat kelelakianku, hingga akhirnya Ulfa terbangun menatapku.

     "Eeeeemmmmhhh, Kok nggak tidur Cha?" Tanya Ulfa melepas selimutnya.

     "Iya, baru kebangun, " jawabku.

     "Sudah, tidur disini saja, dingin disitu ya. Cepet naik ke kasur hmmmmhhh," sambung Ulfa masih tampak ngantuk.

     Aku diam sejenak, aku ingin tapi tak ingin. Aku tahu itu salah, aku tak bisa tidur seranjang dengannya. Aku laki-laki normal.

     " Nggak ah, aya-aya wae. Tidurin lagi tu," jawabku.

     Aku masih gelisah. Jujur -- malam ini begitu menyiksa. Hasratku terus menggoda agar aku ----- Ahh! Sekuat hati aku berdzikir memohon ampunan. Aku tahu Allah melihatku, aku yakin Allah mengerti hasratku sebagai manusia biasa. Sekuatnya aku ber istighfar meredakan nafsuku, hingga akhirnya aku terlelap tidur.

Kini basah ...
Mimpi jadi alir pipi,
Karena pekat gerimis dimata yang jelata,
Sekejap ingin kubunuh,
Sekejap hasrat kubuang jauh-jauh,
Menahan pekat hati tapi raga yang gemetar,
Menahan hitam cinta,
Dan hasrat yang gemetar ...

                   ***

     "Hooahhh,, Hmmhhhhh ..." enaknya bangun pagi dikamarku sendiri.

     IYA --- aku sudah di Bandung, terbangun dikamarku sendiri. Benar-benar pengalaman yang aneh, setelah hampir dua minggu berada di Jogya.

     Kotanya kuakui menyenangkan dengan orang-orang yang ramah, tapi keadaanku yang tak menyenangkan karena aku tak punya uang.

     Bila urusan makan dan hiburan masih mending tak terlalu sakit, tapi yang paling sulit adalah menahan hasrat malamku tidur dengan Ulfa tapi tak pernah terjadi apa-apa dalam 'tidur yang menyiksa' -- Huhhh dehh.

     Kami bisa pulang ke Bandung bukan karena hasil mengamenku, tapi uang dari suami Ulfa didetik akhir baru dia datang kayak polisi india. Aku heran, saat dia tiba di Jogya malah berterima kasih padaku karena sudah mau menemani Ulfa --- dasar suami yang aneh.

     "Hahhh, Sialan" kesal rasanya kalau mengingat hal itu.  Bukannya dari hari pertama dia datang terus ngasih duit buat Ulfa. tak perlu aku kesana sampai lahir batinku tersiksa.

     Sambil merasa-rasakan dinginku dalam selimut, aku masih terbayang kalau malam kemarin aku masih bersama Ulfa. Hihiii -- jadi ingin tertawa sendiri.

     "Oh iya! Aku masih punya uang," kataku bicara sendiri beranjak dari kasur untuk kemudian mengambil tas yang kemarin kubawa ke Jogya. Kuperiksa rupanya banyak sekali recehan, lumayan ... Kuhitung-hitung semuanya ada 180 ribu rupiah.

     "Aku beli apa ya? Inikan hasil susah," kataku dalam hati. Tak lama berpikir, aku teringat Ulfa.

     "Iya, aku cari uang ini untuk Ulfa, berarti ya harus untuk Ulfa. Beli apa ya?" Kataku lagi. Setelah berpikir sejenak, aku berniat membelikan Ulfa Sweater --- Hmmm.

     Singkat cerita aku pergi ke kota mencari sweater atau baju hangat yang hendak kubelikan untuk Ulfa. Kucari warna kesukaan Ulfa yaitu hijau. Tak lama mencari, akhirnya kupilih yang menurutku bagus dan pastinya cantik bila Ulfa yang memakainya.

     Seusai membeli Sweater, aku langsung menuju ke kosan Ulfa yang memang tak jauh dari toko tempat aku membeli sweater.

     Aku sudah terbiasa datang ke kosan Ulfa saat dia sedang libur, tapi kali ini aku tak memberitahu Ulfa terlebih dulu.

     "Kejutan ah," kataku mesam-mesem sendiri sambil terus berjalan memasuki gang-gang atau jalan-jalan tikus agar cepat sampai ke kosan Ulfa. Hingga tanpa terasa aku sudah sampai didepan pintu kosannya.

     Jendelanya kulihat masih tertutup, padahal hari sudah siang, lampu didalamnya juga mati.

     "Ulfa ada nggak ya? Kok sepi banget," kataku bicara sendiri heran.

     Aku tahu hari ini Ulfa belum masuk kerja, dan kulihat sandal sepatu coklat yang biasa ia pakai masih ada diluar pintu.

     "Tapi nggak ada suara sama sekali," kataku lagi dalam hati.

     Karena penasaran akupun membuka pintu kosan Ulfa, yang rupanya tak dikunci.

     "HAHHHHH, LAGI NGAPAIN KAMU FA!!! ... Aaaa ... apa ini ..." kataku gemetar.

     Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat. Ulfa setengah tak berbusana terperanjat kaget melihatku masuk. Dia tengah bergumul bersama seorang lelaki dan itu bukan suaminya.

     Sering kulihat laki-laki itu, Iya -- dia rekan kerja Ulfa di toko kaset.

     "Ehhh Cha!" Spontan Ulfa kaget sembari melepaskan diri dari laki-laki sialan itu.

     Tak lagi bisa berpikir, kujatuhkan sweater yang baru saja kubeli untuknya didalam kamar, dan aku bergegas keluar. Tak sudi rasanya melihat pemandangan laknat seperti itu.

     "Chaa ... Chaa ... dengar dulu Cha!" Teriak Ulfa sembari membetulkan pakaiannya.

     Aku mempercepat langkahku. Aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan. Dia bukan siapa-siapa aku. Kenapa aku harus sedih? Kenapa aku harus sakit?.

     Sambil terus menjauh aku berpikir; Mungkin cinta itu begitu rapuh, mungkin perasaan itu adalah bohong, mungkin kenyataan itu adalah sesuatu yang sialan ---- Arggghhh ...

     Ya! Aku tak boleh kecewa, aku tak boleh marah. Mungkin ini yang sering dikatakan Papaku 'Senja Yang Rapuh'. Akhir cinta yang lumpuh. Tanpa uang, tanpa hasrat, tanpa kebersamaan, tanpa perasaan, tanpa iman --- rapuh.

     Aku mempercepat langkah setengah berlari, ingin rasanya segera pergi. Kenapa aku menangis? Sialan --- kenapa aku harus nangis.

     Tak kupeduli lagi apa yang kulihat didepanku. Akhirnya aku berlari sekencangnya di tengah sibuknya kota.

     Rasanya sakit sekali. Cinta ... apa aku harus selalu mencintainya. Kutekan dadaku kuat-kuat. Tapi tetap ini sakit ... Sakit sekali.

Dan aku tak bisa lagi berpuisi,
Dalam dada rasa tak terlukiskan,
Entah apa yang merasuk,
Senja yang rapuh kualami sebelum kulalui,
Dibalik kidung perihnya,
Aku telah tahu rasanya,
SENJA YANG RAPUH ...

                    ~o0o~

~ Agung Saripudin

Kuncup Cemara

Senin, 23 Oktober 2017

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 7

     Begitu kagetnya aku mimpi terjatuh, dan rupanya ini masih tengah malam. Kulihat jam dinding pukul 02:15 dini hari, dingin sekali malam ini. Kuintip Ulfa dikasur begitu cantiknya ia tidur dengan bibir yang terlihat manis.

     Ya Allah --- Hasratku tiba-tiba menggebu. Aku begitu gelisah, kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi -- kutatap Ulfa -- kupejamkan lagi.

     Tubuhku semakin gemetar melawan hasrat kelelakianku, hingga akhirnya Ulfa terbangun menatapku.

     "Eeeeemmmmhhh, Kok nggak tidur Cha?" Tanya Ulfa melepas selimutnya.

     "Iya, baru kebangun, " jawabku.

     "Sudah, tidur disini saja, dingin disitu ya. Cepet naik ke kasur hmmmmhhh," sambung Ulfa masih tampak ngantuk.

     Aku diam sejenak, aku ingin tapi tak ingin. Aku tahu itu salah, aku tak bisa tidur seranjang dengannya. Aku laki-laki normal.

     " Nggak ah, aya-aya wae. Tidurin lagi tu," jawabku.

     Aku masih gelisah. Jujur -- malam ini begitu menyiksa. Hasratku terus menggoda agar aku ----- Ahh! Sekuat hati aku berdzikir memohon ampunan. Aku tahu Allah melihatku, aku yakin Allah mengerti hasratku sebagai manusia biasa. Sekuatnya aku ber istighfar meredakan nafsuku, hingga akhirnya aku terlelap tidur.

Kini basah ...
Mimpi jadi alir pipi,
Karena pekat gerimis dimata yang jelata,
Sekejap ingin kubunuh,
Sekejap hasrat kubuang jauh-jauh,
Menahan pekat hati tapi raga yang gemetar,
Menahan hitam cinta,
Dan hasrat yang gemetar ...

                   ***

     "Hooahhh,, Hmmhhhhh ..." enaknya bangun pagi dikamarku sendiri.

     IYA --- aku sudah di Bandung, terbangun dikamarku sendiri. Benar-benar pengalaman yang aneh, setelah hampir dua minggu berada di Jogya.

     Kotanya kuakui menyenangkan dengan orang-orang yang ramah, tapi keadaanku yang tak menyenangkan karena aku tak punya uang.

     Bila urusan makan dan hiburan masih mending tak terlalu sakit, tapi yang paling sulit adalah menahan hasrat malamku tidur dengan Ulfa tapi tak pernah terjadi apa-apa dalam 'tidur yang menyiksa' -- Huhhh dehh.

     Kami bisa pulang ke Bandung bukan karena hasil mengamenku, tapi uang dari suami Ulfa didetik akhir baru dia datang kayak polisi india. Aku heran, saat dia tiba di Jogya malah berterima kasih padaku karena sudah mau menemani Ulfa --- dasar suami yang aneh.

     "Hahhh, Sialan" kesal rasanya kalau mengingat hal itu.  Bukannya dari hari pertama dia datang terus ngasih duit buat Ulfa. tak perlu aku kesana sampai lahir batinku tersiksa.

     Sambil merasa-rasakan dinginku dalam selimut, aku masih terbayang kalau malam kemarin aku masih bersama Ulfa. Hihiii -- jadi ingin tertawa sendiri.

     "Oh iya! Aku masih punya uang," kataku bicara sendiri beranjak dari kasur untuk kemudian mengambil tas yang kemarin kubawa ke Jogya. Kuperiksa rupanya banyak sekali recehan, lumayan ... Kuhitung-hitung semuanya ada 180 ribu rupiah.

     "Aku beli apa ya? Inikan hasil susah," kataku dalam hati. Tak lama berpikir, aku teringat Ulfa.

     "Iya, aku cari uang ini untuk Ulfa, berarti ya harus untuk Ulfa. Beli apa ya?" Kataku lagi. Setelah berpikir sejenak, aku berniat membelikan Ulfa Sweater --- Hmmm.

     Singkat cerita aku pergi ke kota mencari sweater atau baju hangat yang hendak kubelikan untuk Ulfa. Kucari warna kesukaan Ulfa yaitu hijau. Tak lama mencari, akhirnya kupilih yang menurutku bagus dan pastinya cantik bila Ulfa yang memakainya.

     Seusai membeli Sweater, aku langsung menuju ke kosan Ulfa yang memang tak jauh dari toko tempat aku membeli sweater.

     Aku sudah terbiasa datang ke kosan Ulfa saat dia sedang libur, tapi kali ini aku tak memberitahu Ulfa terlebih dulu.

     "Kejutan ah," kataku mesam-mesem sendiri sambil terus berjalan memasuki gang-gang atau jalan-jalan tikus agar cepat sampai ke kosan Ulfa. Hingga tanpa terasa aku sudah sampai didepan pintu kosannya.

     Jendelanya kulihat masih tertutup, padahal hari sudah siang, lampu didalamnya juga mati.

     "Ulfa ada nggak ya? Kok sepi banget," kataku bicara sendiri heran.

     Aku tahu hari ini Ulfa belum masuk kerja, dan kulihat sandal sepatu coklat yang biasa ia pakai masih ada diluar pintu.

     "Tapi nggak ada suara sama sekali," kataku lagi dalam hati.

     Karena penasaran akupun membuka pintu kosan Ulfa, yang rupanya tak dikunci.

     "HAHHHHH, LAGI NGAPAIN KAMU FA!!! ... Aaaa ... apa ini ..." kataku gemetar.

     Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat. Ulfa setengah tak berbusana terperanjat kaget melihatku masuk. Dia tengah bergumul bersama seorang lelaki dan itu bukan suaminya.

     Sering kulihat laki-laki itu, Iya -- dia rekan kerja Ulfa di toko kaset.

     "Ehhh Cha!" Spontan Ulfa kaget sembari melepaskan diri dari laki-laki sialan itu.

     Tak lagi bisa berpikir, kujatuhkan sweater yang baru saja kubeli untuknya didalam kamar, dan aku bergegas keluar. Tak sudi rasanya melihat pemandangan laknat seperti itu.

     "Chaa ... Chaa ... dengar dulu Cha!" Teriak Ulfa sembari membetulkan pakaiannya.

     Aku mempercepat langkahku. Aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan. Dia bukan siapa-siapa aku. Kenapa aku harus sedih? Kenapa aku harus sakit?.

     Sambil terus menjauh aku berpikir; Mungkin cinta itu begitu rapuh, mungkin perasaan itu adalah bohong, mungkin kenyataan itu adalah sesuatu yang sialan ---- Arggghhh ...

     Ya! Aku tak boleh kecewa, aku tak boleh marah. Mungkin ini yang sering dikatakan Papaku 'Senja Yang Rapuh'. Akhir cinta yang lumpuh. Tanpa uang, tanpa hasrat, tanpa kebersamaan, tanpa perasaan, tanpa iman --- rapuh.

     Aku mempercepat langkah setengah berlari, ingin rasanya segera pergi. Kenapa aku menangis? Sialan --- kenapa aku harus nangis.

     Tak kupeduli lagi apa yang kulihat didepanku. Akhirnya aku berlari sekencangnya di tengah sibuknya kota.

     Rasanya sakit sekali. Cinta ... apa aku harus selalu mencintainya. Kutekan dadaku kuat-kuat. Tapi tetap ini sakit ... Sakit sekali.

Dan aku tak bisa lagi berpuisi,
Dalam dada rasa tak terlukiskan,
Entah apa yang merasuk,
Senja yang rapuh kualami sebelum kulalui,
Dibalik kidung perihnya,
Aku telah tahu rasanya,
SENJA YANG RAPUH ...

                    ~o0o~

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 6

     Ini hari ketigaku di kota Jogya. Ulfa menjadi jarang bicara saat kukatakan padanya kalau uangku hilang hingga membuat kami belum bisa pulang, dan aku mengerti perasaannya.

     Disini kami tersiksa hanya makan satu kali sehari, itupun satu piring berdua yang memang gratis disediakan dalam paket penginapan.

     Aku kangen Mama. Rupanya beginilah rasanya jauh dari keluarga, ditambah lagi aku tak punya uang, aku tak bisa mencari uang.

     Aku tak tega melihat Ulfa hanya bisa melamun atau menonton Tv dikamar, terbersit dipikiranku, pantas saja aku belum punya kekasih atau istri. Allah sayang padaku, baru tiga hari saja begitu tersiksa melihat orang yang kusayangi kurang makan, apalagi kalau nanti berumah tangga --- tak berani aku membayangkannya.

     Mencoba tak banyak berpikir, kupaksakan mataku fokus menonton acara ceramah shubuh di tv tetapi malah membuatku semakin sedih dan teringat rumah. Ditambah lagi ustadz nya berceramah tentang bahaya zinah dan pergaulan bebas --- Ya Allah, aku benar-benar takut. Yang kulakukan ini dosa besar walau aku tak melakukan apa-apa.

     Ulfa itu istri orang, bagaimanapun suaminya aku tak berhak setitikpun masuk dalam kehidupannya, tapi malahan sekarang aku berduaan dengannya.

     Makin gelisah perasaanku. Sesekali kutatap Ulfa yang masih tertidur pulas hingga tak terasa hari sudah pagi dan mentari sudah memaksa masuk dari sela-sela gorden jendela yang belum aku buka.

     Aku kembali membaringkan tubuhku, tapi disela renunganku yang hampir menutup mataku lagi, sayup kudengar sepertinya seseorang tengah bermain gitar. Begitu cantik suaranya. Aku penasaran dan segera beranjak mencari darimana asal suara itu.

     Rupanya Bapak yang membersihkan taman kemarin, hebat sekali kulihat dia memainkan jemarinya memainkan gitar. Walau tanpa bernyanyi, indah sekali nada- nada klasik yang kudengar dari petikan gitarnya.

     Melihat itu seketika ideku muncul, bagaimana kalau kupinjam saja gitarnya kupakai mengamen, agar aku bisa mengumpulkan uang untuk ongkos pulang. Aku takut, tinggal semingguan lagi batas kami menginap disini. Aku takut makin lama menyiksa Ulfa, dan makin banyak juga aku berdosa.

     Tak berlama-lama kuberanikan diriku berbicara padanya, sambil basa-basi aku sedikit belajar beberapa kunci gitar darinya.

     Kuceritakan padanya tentang keadaanku hingga ia iba dan menawarkan memberiku ongkos pulang tetapi aku menolaknya. Aku tak sanggup membayarnya, dan belum tentu juga aku kembali ke kota ini. Kota Jogya yang tak terpikir sebelumnya untuk kusinggahi.

     Alhamdulillah, setelah lama santai berbincang, akhirnya dia mengerti dan bersedia meminjamkan gitarnya kepadaku. Kuberdoa dalam hati semoga Allah segera membalas kebaikannya -- amin.

                    ***

     Singkat cerita akupun nekad mengamen disekitar tempat kami menginap. Cukup ramai disini karena memang disini daerah wisata yang cukup terkenal.

     Inilah pengalaman pertamaku bernyanyi dijalanan. Biasanya aku pentas bersama saudara-saudaraku. Aku sungguh kangen mereka; Sammy, Riku, Balawan, Astri --- ahh, dan banyak lagi muncul wajah-wajah sahabatku.

     Aku gugup sekali saat akan mulai bernyanyi. Kukuatkan diriku dengan mengingat rasa kangenku pada Mama dan Papaku;

     "( Chapunk nggak bisa Ma, dirumah tak pernah susah kayak gini. Pa, maafin Chapunk juga ya Pa -- Chapunk selalu saja bikin Papa malu. MAMA ... PAPA ... doain Capunk ya. Capunk pengen pulang)" kataku menangis dalam hati. Kemudian mulai bernyanyi.

     Lambat - laun akupun mulai terbiasa dengan gitar pinjamanku. Mencoba berdamai dengan rasa malu hingga tak terasa separuh jalan sudah kususuri hampir sampai ke terminal lagi.

     Kumasuki tiap tempat dimana banyak orang berkumpul. Kujajaki tiap tempat yang kulihat ramai. Tanpa kata pembuka aku langsung bernyanyi. Aku tak bisa basa-basi layaknya para pengamen yang sering kulihat di Bus Damri di Kota Bandung. Tapi alhamdulillah -- orang-orang disini mengerti kalau aku sedang mengamen.

                      ***

     Benar kata pepatah dulu; bila melakukan sesuatu waktu takkan terasa berlalu. Seperti terhanyut, aku keasyikan mengamen hingga hampir maghrib. Aku tahu pasti Ulfa belum makan.

     Mengingat itu, aku putuskan sudah cukup mengamennya hari ini dan bergegas pulang ke tempat kami menginap. Berjalan kaki lagi sembari menghitung uang hasil mengamenku.

     "Hihihi, senang sekali -- lumayan ..." benar-benar aku bahagia. Ini uang hasil keringat pertamaku, walau sebelumnya sering aku manggung bersama Band ku, tapi jujur saja --- tak pernah dibayar.

     Rasanya begitu bangga sekali walaupun uangnya tak seberapa. Kubelikan nasi bungkus terlebih dahulu untuk kubawa pulang ke penginapan. Kasihan Ulfa dari pagi kutinggal sendiri. Tak tega mengingat itu, kucepatkan segera langkahku supaya lekas sampai.

     "Darimana Cha? Seharian nggak pulang --- kirain kabur ninggalin aku," tanya Ulfa cemberut begitu melihatku masuk kamar.

     "Hehee, pengen tahu aja ah. Nih makan dulu," jawabku sambil menyodorkan nasi bungkus dan beberapa cemilan yang kubelikan untuknya.

     "Wahh ... uang dari mana Cha? Kok banyak banget belinya?" Tanya Ulfa heran.

     "Aku tadi ngamen," jawabku singkat.

     "Emang kamu berani, Widiiiiihh --- nggak percaya ah. Kamu kan anak mami, ke tempat rame aja mesti dikawanin, hmmm," kata Ulfa masih tak percaya.

     "Ya maksain lah --- Emang kamu nggak kepingin pulang?" Kataku menyindir.

     "Yee ... ya mau lah! Haduuuuuuuh, nomor suamiku kok belum aktif juga sih ..."

     "Sudah makan dulu, kangennya belakangan saja," kataku memotong sambil membukakan nasi bungkus buat Ulfa, supaya ia segera memakannya.

     "Nyindir aja kamu mah! --- Cha, kira-kira suamiku lagi ngapain ya?"

     "Ya lagi sama anak istrinya lah. Ehh -- Maaf! ..." Jawabku terkejut spontan, menyadari kalau aku asal bicara.

     Aku mengira Ulfa akan marah, tapi dia hanya diam melanjutkan makannya.

     Menatap Ulfa yang kembali murung aku menjadi merasa bersalah. Ya Allah, kenapa mesti begini.

     Aku berpikir kalau saja aku yang menjadi suaminya, kalau saja aku yang sudah mapan, kalau saja aku dewasa dan pandai, kalau saja aku yang banyak uang. Aku takkan pernah menyiksanya seperti ini --- hmmmm.

                      ***

Salahkah aku iri,
Cinta untukku mahal, tak sanggup aku beli
Mungkin mudah mencintaiku,
Tapi mudahkah bila hidup denganku?
Pertanyaan yang tak bisa kujawab,
Dan sisi perihnya, jadi sudut yang menyiksa,
Hanya mengagumi pelangi,
Yang indahnya, takkan pernah aku sentuh

                       ***

    
    

Sabtu, 21 Oktober 2017

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 5

     Hampir seharian penuh perjalananku dari Bandung menuju Jogyakarta, alhamdulillah tanpa terasa aku sampai juga. Tak enak sekali rasanya duduk berjam-jam didalam Bus. Rasanya antara sadar tak sadar, dengan kuping berdengung, dan remuk rasanya seluruh badan.

     Masih setengah pusing kupaksakan diriku berdiri untuk kemudian keluar berdesakan bersama puluhan penumpang lainnya yang ingin segera turun dari Bus.

     Layaknya sebuah perlombaan, kami semua ingin menjadi yang pertama keluar dari sumpek dan panasnya didalam.

     Setelah keluar dari Bus, pikiranku seperti kehilangan arah, dan hal pertama yang kurasakan adalah --- bingung --- Ramainya orang di Terminal membuatku semakin pusing dengan bahasa dan logat yang asing ditelingaku. Ditambah lagi dengan rayuan para calo taksi membuatku kepalaku serasa pecah ingin berteriak "Stoooppp!" Tapi tak mungkin kulakukan.

     "Aduuuuuuuh, apa yang harus kulakukan disini," kataku dalam hati. Kemudian kembali menghisap rokokku mencoba menenangkan diri.

     "Halaaahhhh, rokok sialan," gerutuku lagi sembari melempar puntung rokok sisa hisapanku yang masih cukup panjang. Aku benar-benar gelisah tak tahu harus berbuat apa, hanya berdiri mematung sambil mengamati sekitarku. Setelah hati  sedikit tenang, kuambil Ponsel yang selalu kusimpan dikantong kanan celana jins ku. Kemudian menghubungi Ulfa, kukatakan padanya kalau aku sudah tiba di terminal.

     Tak berapa lama, dari jauh kulihat Ulfa datang. Wajah polosnya tampak kebingungan tengok kanan kiri mencariku. Lega rasanya melihat Ulfa datang, "cantik sekali dia," khayalku dalam hati; dengan rambut lurus panjang yang selalu dibiarkan terurai dan tubuh kecilnya membuat dia makin manis. "Kok rasanya kangen sekali," begitu rasanya dihatiku. Dua minggu tak bertemu dengannya, rasanya seperti sudah berbeda. Hahhh --- segera kuhentikan khayalanku, kemudian bergegas menghampirinya sambil berteriak memanggil-manggil namanya, takut Ulfa tak melihatku karena begitu ramainya suasana.

     "ULFAAAAA! ... DISINIIIII ... WOOOIIII ... ULFAAAA! ..." Teriaku sambil melambaikan tangan. Akhirnya ia melihat, kemudian berlari kecil menghampiri.

     "HHhhhhhh, akhirnya ketemu juga," kata Ulfa terengah kelelahan.

     "Terus, kemana kita nih, Langsung pulang ke Bandung? kan tugasku jemput doang " Tanyaku sewot.

     "Xixixii, kok asem gitu nanyanya, ngambek ya? Hhhhhh, lega ada kawan, akhirnya bisa pulang, huhh," Kata Ulfa senang.

     "Malah nyengir lagi, udah bikin susah orang," jawabku.

     "Ciyeeeee, yang lagi ngambek, xixixixii ... " kata Ulfa menggodaku.

     "Sudah ah, sekarang serius nih, kemana lagi kita?" Tanyaku lagi,

     "Ih, kok ngambeknya lama sih, ya udah, Ke Penginapan dulu aja lah, ngerepeeeeet terus, ayokk" Jawab Ulfa sambil menarik tanganku.

     "Eh ... eh ... tunggu dulu! Aku tak punya cukup uang, mending langsung pulang aja? Kubantuin beres-beres". Kataku menolak tarikannya.

     "Halah, nyantai aja Cha, Penginapan udah dibayar sama suamiku buat satu bulan, sayang kan ditinggalin gitu aja. Lagian emang kamu nggak cape?" Ulfa balik bertanya.

     "Bukan gitu Fa, nggak enak juga kali, kita nginap berdua -- ahh, Ya Allah, terserah kamu aja lah, aku capek," Jawabku tak sanggup berpikir lagi.

     Kamipun terus berdebat sepanjang perjalanan menuju Penginapan yang jaraknya lumayan jauh bila berjalan kaki. Tak sempat kunikmati suasana disekitarku, padahal ini kali pertama aku datang ke kota ini. Dalam pikiranku hanya ada rasa gemas pada Ulfa, sepertinya kemarin di telpon ia panik sekali, eh --- kok terlihat nyantai saja ketika aku tiba.

     "Emang suamimu kemana sih? Bikin susah orang aja," kataku melanjutkan pertanyaan.

     "Udah ah, nggak usah ngomongin dia, biasanya juga gitu, terserah apa urusannya, aku nggak peduli," kata Ulfa.

     "Astagfirullah Fa ... hmmhhh ..." kataku menarik nafas panjang, malas mendebatnya lagi.

     Kami terus berjalan santai sambil sesekali berbincang menyusuri padatnya kota, sampai akhirnya Ulfa menarikku masuk ke sebuah jalan kecil. Dan tak sampai seratus meter kami tiba didepan sebuah Homestay atau Cottage yang cukup besar dan asri dengan taman disekelilingnya, yang pasti dirawat dengan baik hingga tampak indah. Yang jelas ini bukan penginapan kelas melati atau Hotel berbintang.

     "(Wahh, cantik sekali, pasti mahal suami Ulfa bayar sewanya, widiiih ... )" kataku dalam hati.

     "Ini tempatnya Cha," kata Ulfa menarik lagi lenganku, hingga terkejut membuyarkan lamunanku.

     Tak berlama-lama kamipun segera masuk, kulihat  ruangannya begitu cantik dengan arsitektur klasik dan banyak ukiran kayu bahkan sampai ke dindingnya. Tapi jujur saja suasananya sedikit sepi dan angker walau tak seangker rumahku, pantas saja bila Ulfa minta dikawani. Sepertinya tak banyak orang juga disini, hanya kulihat seorang Bapak yang sedang membersihkan taman, dengan mimik wajah dingin memaksakan tersenyum padaku. "Hiiiii, kok jadi merinding ya" kataku bicara sendiri dalam hati.

     "Cha, ke kamar yok, aku capek, kamu juga capek kan?," tanya Ulfa.

     "Ya Ampun, nggak mau ah, berduaan gitu dikamar, kamu aja sendiri sana. Aku istirahat disini saja, " kataku menolak.

     "Emang kita mau ngapain, cuma ngawanin aku doang ko, ayolah Cha, nggak enak disini, pliiiiss, lagian besok kita pulang, aku takut sendirian" kata Ulfa merajuk.

     Entah kenapa, aku tak pernah bisa menolak apabila Ulfa yang merajuk, dan akhirnya ku iyakan ajakannya.

     "Ya udah, iya-iya ..."

     "Nah gitu dong, dari tadi kek, nggak usah selalu berantem dulu, hehee," kata Ulfa gembira.

     Kamipun masuk kedalam kamar. Kamar yang lumayan besar, lengkap dengan sebuah kamar mandi didalam dan sebuah TV persis didepan kasur. Didindingnya ada sebuah lukisan romantis, Menggambarkan suasana jalanan kota lama.

     "Wah, aku tidur dimana Fa? Kasurnya cuma satu, mending aku diruang depan aja ya?" Pintaku lagi.

     "Ya ampun Cha, gitu aja ribet banget, kalau nggak mau dikasur -- ya dibawahlah, yang penting kawanin aku, nih pake ini aja buat alas kamu tidur," jawab Ulfa sembari memberikan kain selimut padaku.

    "Iya-iya, Siap Nyonya! ..." jawabku mencandainya.

     "Awas ya, nanti malam aku tidur, jangan macam-macam, xixixixii ..." Kata Ulfa membalas candaku.

     "Ciyeeeee, siapa juga yang mau sama emak-emak, enak di dirimu dong Fa -- diriku kan bujang tulen, Hahahaha," kataku tak tahan menahan tawa.

    "Idiiih, Jahat sekali,," jawab Ulfa cemberut.

     Begitu terlena rasanya kami berbincang melepas kangen, hingga tak terasa kulihat keluar jendela sudah larut malam.

     "Punya uang lebih nggak Cha? Beli cemilan gih," tanya Ulfa tiba-tiba.

     "Ya ada- lah, " jawabku.

     "Tapi, masa sih di rumah segede ini, nggak ada makanannya" sambungku lagi -- heran.

     "Haduuuh Cha, kalau ada, dari tadi udah aku masakin. Suamiku juga aneh, masa dompetku sama isinya pun dia bawa, takut aku kabur kali ya Cha, hahahahaaa," jawab Ulfa

     "Udah ah, nggak usah nyalahin orang, lu aja yang bego," kataku tiba-tiba kesal.

     Tak banyak bicara lagi, akupun beranjak dari tempatku  merebahkan diri, takut malam semakin larut dan tak ada warung yang buka.

     "Aku pergi dulu ya, awas tuh ada yang intip dari kamar mandi, -- bang bokiiiiirr--- bang bokiiiiiiir, hhihihihihiii,, Hahahahaa," kataku menakuti Ulfa kemudian berlari keluar menjauhi Ulfa yang pastinya kesal

     "Iihhh,, udah ah, garing tahu, cepat pigi sana" jawab Ulfa sebal kemudian membanting pintu.

     Hhhhhhh --- senang sekali rasanya, sudah lama kami tak bercanda.

     Tak berapa lama aku keluar dari tempat kami menginap, aku tiba disebuah warung pinggir jalan yang mungkin buka 24 jam, kulihat begitu banyak pemuda yang sedang asik nongkrong mengobrol dengan bahasa yang tidak aku mengerti, membuatku sedikit kurang nyaman dan tak mau berlama-lama. Akupun memilih-milih cemilan sekedar pengganjal perut, dan ketika hendak kubayar --- ASTAGFIRULLAH ... jantungku seperti berhenti --- jaketku ketinggalan di Bus.

     Uang untuk tiket pulang kami kusimpan dalam jaket, memang sengaja kupisahkan, dan yang tersisa hanya sedikit uang didompetku yang tak seberapa.

     Allahu Akbar -- aku seperti mati rasa. Setelah kuambil bungkusan jajananku, akupun kembali ke rumah tempat kami menginap, mencoba tak panik dan memikirkan apa yang harus kulakukan.

     "Ketemu warungnya Cha?" Tanya Ulfa begitu melihatku masuk kamar.

     "Ketemu atuh, nih cepet makan dulu, " jawabku

     Kami berdua kembali berbincang sembari menghabiskan cemilan yang baru saja kubeli. Tapi hatiku tak tenang, aku tak tega bercerita pada Ulfa kalau ongkos buat tiket kami pulang hilang. Kulihat Ulfa terus melahap cemilannya sembari mengajaku bicara dengan raut gembira. Dia tak tahu hatiku sedih, dan pasti diapun akan sedih -- hmhhh, Ya Allah.

                       ***

     Sudah tengah malam, benar-benar tak terasa. Kulihat Ulfa begitu nyenyak tertidur mungkin karena lelahnya hari ini. Rasanya seperti bermimpi malam ini aku punya teman tidur, walaupun aku dibawah dan Ulfa dikasur. Menatap Ulfa yang masih saja cantik walau tengah pulas, sekejap aku lupa kalau besok kami tak bisa pulang.

                     ***

Inikah yang terjadi,
Saat disisi indah,
Tapi pekat perih menghujam didadaku,
Menatapmu terlelap,
Menatapmu senyum tak lelah,
Memelukmu hanya untuk berpisah,
Kini keningmu menggodaku tuk kukecup,
Tapi jadi petaka bila kugugu,
Dan aku ingin terhormat menyayangimu,
Biar bukan cinta ...

                       ***

    

    

    
    
    

Selasa, 17 Oktober 2017

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 4

     Singkat cerita, hampir dua minggu sudah Ulfa berada di Jogya, selama itu juga tak pernah kudengar kabar dari dia. Aku tak pernah berusaha menghubungi atau sekedar mengirimnya SMS. Dipikiranku mungkin dia tengah berbahagia bersama suaminya, sampai akhirnya Ponselku berbunyi bersamaan saat aku tengah mengingatnya. Seperti kebetulan saja Ulfa menelfonku, dan spontan langsung kujawab;

     "Ulfaaaaaaa, Halloo ... Assalamualaikum. Gimana kabarnya? Asik disana kan?" Jawabku langsung nyerocos saking senangnya Ulfa menelfonku. Tapi tanpa menjawab salamku Ulfa memotong;

     "/Chaaa! ... Tolong aku! Bisa datang kesini nggak?/" Kata Ulfa terdengar gemetar.

     "Ya Allah! Ada apa Fa? Kenapa Fa, suamimu mana?, aduuuuh, mana mungkin aku kesana, kan jauh Fa," Jawabku panik. Aku sungguh tak tahu harus menjawab apa.

     "/Pliiiiiiiis Cha! Panjang ceritanya. Aku sendiri nih, aku takuuuut, suamiku nggak ada. Cuma beberapa hari kita sama-sama, terus suamiku bilang ada urusan, sampe sekarang nggak datang lagi. Udah kuhubungi, nggak ada yang aktif nomornya. Chaaa ... aku mau pulaaaang,, tolooong, (hiks ...)/" Ulfa terdengar menangis, membuatku semakin tak karuan.

     "Ya sudah, aya-aya wae, tunggu aja disitu nggak usah kemana-mana, kamu hati-hati ya, aaaaaahh,, kamu mah, udah dulu ya, assalamualailkum," kataku kemudian menutup telponku.

     Aku terdiam menenangkan diri, kulihat jam dinding pukul 15:40. Aku bingung karena tak punya cukup bekal dan sama sekali aku tak tahu Jogya. Aku tak punya teman ataupun kerabat disana, aku tak pernah sekalipun kesana.

     "Haduuuuuuh ... gimana nih!" Keluhku dalam hati. Tak mau berpikir lagi segera kucari dompetku. Kuperiksa didalamnya hanya ada uang jajan yang masih jauh dari cukup, bahkan kurang untuk sekedar membeli tiket Bandung - Jogyakarta. Menyadari hal itu, aku bergegas keluar mencari kawan-kawanku mumpung hari belum gelap, dan alhamdulillah ada beberapa kawan yang memberiku pinjaman.

     Tak lama aku berkemas, singkat cerita aku telah sampai di terminal kota Bandung, begitu sumpek seperti sumpeknya pikiranku. Kulihat jam di Ponselku pukul 08:10 malam. Aku resah, aku tak tahu apa-apa tentang Jogya, apalagi bekalku pas-pasan membuatku gelisah takut terjadi apa-apa disana. Berkali kutarik nafas panjang sembari berbaur dengan bisingnya terminal mencoba menenangkan hati yang semakin tak karuan.

     "Hadooooooh, Ulfa siapa aku sih! Bikin pusing aja," kataku menggerutu sendiri. Tetapi bila terbayang dia tengah kesulitan di tempat jauh sana sendirian, aku semakin tak tega. Rasanya ingin segera sampai disana untuk menjemputnya, ternyata naluriku benar, pantas saja kemarin aku khawatir Ulfa pergi, rupanya akan begini.

     "Ahh, naluri ... naluri, nonsense ... segala sesuatu sudah Allah takdirkan," kataku menguatkan diri.

     Tak lama, Bus yang kutunggu datang berhenti tepat didepanku. Bus malam jurusan Bandung - Jogyakarta. Kutarik lagi nafas panjang, kemudian tanpa berpikir lagi aku masuk kedalam Bus.

     "Hmmm, Bissmillahirahmanirahim,"

     Aku duduk di kursi ketiga dari depan, sengaja kucari tempat didekat jendela agar aku bisa merokok, toh, ini bukan Bus AC. Tak peduli seandainya ada yang melarang. Sama-sama naik kelas ekonomi nggak usah banyak gaya, aku sedang jahat. Rasanya hampir setengah depresi, duduk mencoba menutup mata didalam Bus yang pengap sambil sesekali menghisap rokokku yang sudah tak kurasa lagi nikmatnya.

                       ***

Hebat ...
Sungguh rasa apa, yang yakinkan tuk berani.
Hati gemetar, namun kuharap kan terhormat.
Kututup telingaku dari bisingnya jalan,
Kututup hatiku dari takutnya tuju yang belum aku lihat,
Dan berisik disini ...
Aku ingin sepi,
Semoga bisa kuterlelap hingga aku sampai,
Hingga tak perlu kumaki lelahnya hari

                        ***

2. Senja Yang Rapuh

Bagian 3

     Waktupun berlalu, tanpa terasa beberapa bulan sudah kebersamaanku dengan Ulfa. Dia benar-benar gigih meluluhkan hatiku sampai akhirnya hubungan kami dekat. Tak pernah lagi kudengar panggilan 'Aa' untukku dari bibir imutnya seperti saat pertama kali kami bertemu, dan itu wajar saja, sebab kami hanya berteman, Ulfa yang sekarang adalah sahabatku.

     Alhamdulillah, selama ini aku bahagia berteman dengannya, hidupku sedikit lebih lengkap dengan kehadirannya. Allah sayang padaku hingga perlahan memudarkan perasaanku pada Ulfa supaya aku tak tersiksa. Banyak cibiran orang tentang hubungan kami tapi aku tak pernah peduli.

     Setelah sekian lama bersahabat, perlahan aku semakin tahu tentangnya, aku semakin tahu kisah Ulfa yang sebelumnya tak pernah aku duga. Awalnya akupun sempat tak percaya kalau rupanya Ulfa adalah istri simpanan seorang pejabat dari luar kota. Rasanya sedih harus mengetahui hal itu, bukan karena tentang perasaanku padanya, tapi karena aku ... ah tak tahu juga, Pokoknya aku benci, aku sungguh tak terima. Bila suaminya orang hebat, seorang yang mapan ditambah lagi ia seorang pejabat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, tapi kok tega menelantarkan istrinya seperti ini. Apapun status Ulfa, seharusnya suaminya menjaganya, membimbingnya agar menjadi baik, bukan malah menyembunyikannya dari mata dunia, dan cukup didatangi, dinafkahi hanya sekedar lewat saja, kayak orang numpang pipis. Astagfirullah, ahh ... aku tak tahan memikirkan itu, mencoba berpura-pura tak tahu, ngapain juga aku harus peduli masalah orang.

     "Nak! Ada Ulfa tuh ... " Kudengar Mamak memanggilku. Aku yang sedang menonton acara kartun favoritku segera beranjak hendak menghampirinya. Tapi belum sempat beranjak, Ulfa sudah terlebih dulu masuk membuka pintu.

     "Woi Cha ... kartuuuuun terus yang ditonton, kapan jadi orang gedenya sih kamu, nih ada eskrim, biar idup jadi manis dikit," katanya sambil menyodorkan sebatang eskrim padaku.

     "Halaaahhh, datang-datang nyerempet aja, kayak naek angkot. nggak mau ah,, sana ... sana iihh, sempit tahu, kayak nggak ada tempat lain aja, elu tuh,, udah emak-emak masih ngemut eskrim. Minggir, minggir, lagi seru nih" kataku menolak sembari mendorong Ulfa yang terus saja menjahiliku.

     "Yah, sia-sia kubeli, ya sudah buat aku aja,, hmm,, enak tau. Emang susah sukanya sih Cha, kalo lidah belum di update, tahunya cuma rasa gemblong doang, xixixixii," katanya lagi terus menggoda sambil menghalangi aku menonton TV.

     "Aduuuuuhh Ulfa, kok makin disengaja, awas minggir sana keburu habis, meuni riweuh pisan," Kataku makin kesal.

     "Iya ... iya maaf, sensi banget sih tiap aku dateng. O iya Cha, hari ini ke studio kan? Aku ikut ya?" Tanya Ulfa.

     "Biasanya juga ikut nggak nanya dulu," jawabku singkat.

     "Hmm, tapi sebelum ke studio, temani aku cari tiket ya? Suamiku sudah menungguku di Jogya, " Kata Ulfa lagi.

     (Sett ...) Mendengar itu spontan kutatap wajah Ulfa. Entah kenapa seakan aku tak suka, apa mungkin aku cemburu? Ahh, aku tak tahu. Tak kupungkiri Ulfa spesial dihatiku, walau memang bukan cinta yang mengikatnya. Dan aku tak mau kehilangan Ulfa.

     "Wah ... berapa lama? Kapan pulangnya Fa? " Kataku bertanya.

     "Belum juga pergi sudah nanya pulangnya, ya nggak tahu lah, semoga saja selamanya, hihihi ... aku kangeeeeen banget sama suamiku," Jawab Ulfa tersenyum sendiri.

     "Ciyeeee yang lagi seneng, hehee, Pulangnya bawa oleh-oleh ya? Sekalian salamin aku sama Katon atau Erros ya. Bilangin, kapan bisa manggung bareng, hahahaa," Kataku bercanda, padahal ada yang aneh dihatiku.

     Iya ... mungkin aku cemburu.

                       ***

Degup jantungku seperti bertanya,
Lewat detak yang melambat ...
Seperti bias warna yang selalu kutanyakan,
Tiada wajahku dimata cinta,
Tiada wajahmu ditatap rinduku,
Sekedar firasat takut,
Atau bisik nurani yang bohong,
Dan aku ...
Laki-laki yang kebingungan

                     ***

    

Rabu, 11 Oktober 2017

1. Cinta di Album Baru

Bagian 1

     "Wah, Cantik sekali!" Hanya itu yang bisa kujelaskan ketika menatap salah seorang gadis yang sepertinya bekerja di toko ini bila melihat dari seragam yang dipakainya.

     Seperti biasa setiap kumiliki uang lebih tak ada tempat lain yang kusinggahi selain toko kaset. Tetapi kali ini berbeda, didalam toko aku tak fokus mencari kaset. Hanya memilah-milah keping kaset dan CD di rak tetapi mataku sesekali nakal melirik dia yang tampak sibuk melayani konsumen. Entah kenapa ada yang berbeda, jujur saja hatiku
... Ah, pokoknya susah ngomongnya.

     Merasa cukup mencari, kuberanikan diri menghampirinya sekalian bertanya perihal kaset yang kucari.

     "Teh, kalau sekarang lagu yang populer apa sih?" Kataku bertanya.

     "Oh, banyak A. Padi sama Sheila on 7 yang lagunya paling laris" Jawabnya.

     "Hmm,, ya sudah aku ambil Sheila saja Teh, sekalian hitung sama yang ini ya," Kataku lagi sembari menyodorkan beberapa kaset yang sudah kupilih sendiri. Jujur saja aku pura-pura lancar bicara padahal tak berani sekedar menatap langsung matanya. Akupun tak berlama-lama membayarnya dan segera keluar dari toko. Tapi dasar, masih sempatnya aku berhenti didepan pintu, kemudian mencuri lagi menatap gadis itu. Hah ... dasar diriku.

     Setibanya dirumah segera kuputar kaset yang baru saja kubeli dan mulai larut dalam irama lagu-lagu yang tengah kudengarkan. Sambil bermalas berbaring aku masih memikirkan gadis ditoko tadi, seakan cantiknya masih kulihat didepanku. Wajahnya, senyumnya, rambutnya, bibir imutnya saat dia tengah berbicara ...

     "Aduuuuhh, kok kubawa kerumah sih! Malah jadi inget terus, ah, aya-aya wae! " Kataku bicara sendiri gelisah membolak-balikan badanku hingga tanpa terasa aku tertidur tetapi dikagetkan suara eject dari tape compoku yang membangunkanku, dan rupanya benar saja, tape compoku hening tak bersuara lagi pertanda side A sudah habis.

     "Ada apa dengan gadis itu, sudah habis lagu kudengarkan masih saja ia kupikirkan, siapa dia ya? Apa aku pernah mengenalnya? Kok sepertinya tak asing? " Kataku bicara sendiri.

     "Oh, iya! Gampang mau kenal dia, kan kerja di toko kaset hihii " Sambungku nyengir sendiri saat muncul ide dikepalaku ketika hendak membalik kaset. Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan tidur siangku, menikmati lagu demi lagu hingga lelahku terlupa mengkhayalkan tentangnya.

     "Hmmhhhhhh, " Sungguh berbeda sekali, entah apa yang kurasa. Kok bisa sih hanya sekali menatap langsung suka, begitu banyak pertanyaan dalam pikiranku. Seperti ada harap yang kembali bangkit, ada rasa yang kembali berwarna, semoga ini pertanda dalam senyum kecilku, untuk hari esok aku akan bahagia.

     "Iya ... semoga, "

                        ***

Bagian 2

     Pagi ini aku bangun begitu bersemangat memikirkan ideku semalam. O, iya, Namaku Capunk. Aku tak bekerja, kegiatan sehari-hariku hanyalah menjadi personel grup band indie amatiran dan posisiku sebagai vokalisnya. Seminggu sekali ke rental Studio musik mencoba membangun mimpi yang sampai saat ini belum juga terjadi.

     "Cha, latihan nggak hari ini?" Sammy masuk kamar mengagetkanku. Sammy adalah sepupuku, dia adalah gitaris di band kami.

     "Ogah ah, males. Hari ini aku ada perlu," Jawabku sembari melepaskan selimutku yang membuatku serasa malas. Kami asyik berbincang, kuceritakan pada Sammy tentang pertemuanku dengan gadis di toko kaset itu kemarin. Dia mendengarkan dengan seksama sambil sesekali memainkan gitarnya atau sesekali meledekku.

     "Dasar lu Cha, mudah banget sih jatuh cinta. Masa sekali lihat langsung kesemsem kayak gitu, sampai mau langsung nembak segala. Hati-hati lu Cha! Jangan sampai malah lu yang sakit kena pelornya,, ahahahahaa! " Canda Sammy sekalian menasehatiku.

     "Kamu nggak tahu sih Sam! Coba kamu yang rasain gimana rasanya, tetep aja galau, gundah gulana seperti yang aku rasain sekarang. Hmmhhhh, " Kataku menarik nafas panjang. Terbayang wajah gadis itu membuatku senyum sendiri, lupa kalau ada Sammy didepanku.

     "Ah, sudah gila lu Cha, diajak ngobrol malah senyum sendiri. Sakit lu ya! Hahaha! Udah ah, aku pulang dulu, Assalamualaikum " Kata Sammy berdiri hendak meninggalkan kamarku.

     "Ok brow, waalaikum salam, besok aja latihannya ya," Kataku membalas pamitnya sembari mengantarnya keluar pintu kamar, kemudian berjabat tangan khas kami sedari kecil sebagai 'Keluarga Cemara'

           ***

Dan inilah cinta ...
Sungguh aku suka bahkan sebelum kutahu namanya,
Dia menyender dihatiku,
Sebagaimana gitar ini menyender di dindingku.
Bayang senyumnya kemarin,
Seperti sarapan bagi batinku
Kau sekejap singgah,
Dan ingin kusingkat waktu
Tiba-tiba wajah itu jadi milikku

                     ***
Bagian 3

     Tak lama setelah Sammy pulang aku bergegas mandi. Ingin segera rasanya menjalankan ideku mendekati gadis itu, dan tak biasanya aku ceria sepagi ini bernyanyi di kamar mandi. Sungguh hari yang bergairah, kugujek rambutku yang selalu kucat warna coklat kacang ciri khas ku.

     "Pokoknya hari ini aku harus rapi," kataku dalam hati sembari berkaca merias diri. Tak biasanya juga sengaja aku meminjam parfum kepunyaan ayahku sebab sebelumnya aku tak pernah wangi, tapi kini aku berdandan sebisanya agar tampak sesempurna mungkin. Hadoooh, hari yang aneh! Setelah merasa cukup dengan penampilanku, aku bergegas menuju toko kaset untuk menjalankan ide bodohku yang terbersit malam tadi. Sama sekali tak ada ragu dalam hatiku, entah kenapa aku begitu yakin. Mungkinkah ini naluri? Ah, tak tau ah ...

     Singkat cerita, aku telah sampai di toko kaset. Dalam suasana ramai mataku fokus mencari gadis itu, tak butuh waktu lama aku menemukannya dan segera kuhampiri.

     "Teh, album baru yang paling laris apa ya?" Tanyaku pura-pura lancar, menenangkan hatiku yang sesungguhnya mendidih. Mataku fokus memperhatikan ID Card yang dikalungkannya sebagai salah satu karyawan toko kaset ini. Dan jelas tertulis disitu namanya 'Ulfa'

     "Aa, kok melamun?" Tanyanya mengagetkanku.
    
     "Eh, iya maaf. Hehee," Jawabku terkejut.

     "Sekarang album baru Ada band yang judul lagu hits nya Manusia Bodoh sama Setengah hati, Terus Naff juga lagi populer tuh, enak-enak lagunya," jawabnya.

     "Kalau teteh suka yang mana?" Kataku balik bertanya.

     "Lho! Kok nanya saya, kan Aa yang mau beli," Tanyanya heran.

     "Buat kado teh, buat pacar saya. Jadi kalau misalnya teteh yang dikasih sama pacarnya, sebagai sesama perempuan cantik dan manis teteh lebih suka dikasih yang mana. Hehee," kataku gombal berdusta (padahal kaset-kaset ini untuk dia, makanya aku bertanya tentang lagu kesukaannya).

     "Oh, gitu ya, Aa ada-ada aja. Kalau disuruh pilih saya sih suka lagunya Ada band, apalagi yang judulnya setengah hati, lirik sedihnya kerasaaaaa banget, hehee," Jawabnya.

     "Ya sudah yang itu saja, sekalian bungkus yang cantik ya teh. " Sambungku lagi.

     Huhhh, akhirnya selesai juga. Benar-benar sulit menahan kaki yang sesungguhnya bergetar, menahan hati yang sesungguhnya sernad-sernud, tetapi rencana awalku berhasil. Setidaknya tanpa bertanya aku telah tahu namanya; Ulfa.

Bagian 4

     Dengan hati berbunga aku pulang ke rumah. Setibanya dikamarku rupanya teman-teman bandku sudah berkumpul dengan wajah jenuh menunggu. Dalam benakku terpikir, mungkin saat ini mereka sudah tak sabar ingin melampiaskan kekesalan mereka padaku. Bukan tanpa alasan, soalnya akhir-akhir ini aku jarang briefing dan selalu malas bila sedang latihan di Studio.

     "(Biar sajalah, seandainya aku dikeluarkan dan berhenti jadi personel grup band malah alhamdulillah nggak apa-apa, toh, faktanya aku tak suka hidup kayak gini. Apalagi sampai waktu dan kegiatanku diatur-atur orang, aya-aya wae)" Gerutuku dalam hati. Kamarku yang kecil tampak makin semrawut ditambah dengan raut muka kawan-kawanku yang nampak kusut, mungkin karena terlalu lama menungguku. Kulihat Sammy sedang tiduran di kasur, sementara Rial tengah duduk gelisah memainkan Handphone nya.

     "Baru dateng Cha, dari mana aja lu? Lama banget sih! Ada kabar baik nih," Sambut Rial yang spontan berdiri ketika melihatku masuk seakan tak sabar bercerita.

     "Iya tuh! Giliran udah dapat cinta, lupa deh sama saudaranya. Hahaha! Saya tahu orangnya," Sambung Sammy meledekku.

     "Emang kabar apa sih?" Tanyaku penasaran. Rupanya apa yang kupikirkan salah, kalau mereka sedang kesal padaku.

     "Entar malem ada yang undang kita Pentas Brow, Jadi Band Pembuka, ada Erros Chandra mau datang," Jawab Rial bersemangat.

     "Oh, ya sudah, kirain ada apa," kataku singkat.

     "Kok lemes gitu! Dasar lu ah, serius nggak sih? Ini kesempatan Cha, siapa tahu ada produser yang lirik band kita," Sambung Sammy tak suka dengan nada pesimisku.

     "Iya, iya maaf, lagian kan tinggal genjreng aja. Aku sudah hafal semua lagu-lagu kita. Memang manggungnya dimana?" Kataku balik bertanya.

     "Di SMA 9 Bhineka" Jawab Rial

     (Degh) ... What! Dalam hatiku kaget. Aku seperti kacau saat menyadari kalau lokasi SMA 9 Bhineka tepat berhadapan dengan Mall dimana didalam Mall itu adalah lokasi toko kaset tempat Ulfa bekerja.

     "Gimana kalau Ulfa liatin aku, kok perasaanku jadi aneh begini ya, Aduuuuuhh, " Kataku mengeluh sendiri dalam hati.

                    ***

Ada yang tak bisa kusibakkan,
Dan sulap cinta selalu saja rahasia,
Kupikirkan aku malu,
kukhayalkan aku mau.
Namun lagu perasaan meledekku
Mencat wajahku jadi merah,
Bila cinta sungguh tak bisa merayu,
Bila cinta sungguh lupa jadi bijakasana
Hati kecil ini ditangannya,
Bagaimana bila ia di remas
Aduuuuh,,, pasti sakit sekali

                  ***

Bagian 5

     Malam datang begitu cepat, singkat cerita aku dan bandku sudah bersiap dibelakang panggung, mungkin sebentar lagi giliran band kami yang naik, dan jujur kali ini aku takut. Aku masih terpikir Ulfa, gadis manis dari toko kaset itu. Aku senyum sendiri sekaligus takut sendiri, aneh sekali perasaan ini. Sesekali daripada diam menunggu dipanggil, aku berjalan keluar lokasi berpura-pura berkeliling padahal aku patroli. Mataku tertuju ke seberang jalan memperhatikan Mall tempat toko kaset itu berada. Memang tak terlihat jelas dari sini, hanya tampak ramai orang berlalu-lalang, dan bisa saja salah satunya Ulfa yang mungkin juga datang menonton acara band kami.

     "Cha! Ayo cepet, sudah dipanggil tuh! Ngapain aja sih!" Teriak Sammy  terengah kelelahan karena buru-buru mencariku.

     "Iya! ... Iya! ..." timbalku segera berlari menghampiri, Dan kamipun pentas. Tak lama, kami selesai memainkan tiga buah lagu. Alhamdulillah apa yang kutakutkan tak terjadi. Ulfa tak kulihat ada disini sehingga aku bebas berekspresi tanpa terhalang dagdigdugnya perasaanku. Sambil duduk beristirahat, kusaksikan dengan serius penampilan grup band Sheila on 7 yang sedang menunjukan kebolehannya diatas panggung musik, sungguh kali ini lagu yang mereka bawakan benar-benar aku sukai dan pas sekali dengan suasana hati yang tengah aku rasakan. Hihii! Aku tersenyum sendiri, terbersit dipikiranku bagaimana jika segera kuberikan saja kaset Sheila on 7 buat Ulfa, soalnya banyak lagu yang cocok, salah satunya yang berjudul J.A.P, Jadikanlah aku pacarmu.

     "Wahh ... Pas, mantap, buat si cantiiiik, maniiis, heheee, " sambil nyengir aku pelan bicara sendiri.

     "Cha, ini punya kamu ya? " Kata Rial tiba-tiba membuyarkan lamunanku sembari menunjukan sesuatu yang sepertinya terjatuh dari tasku.

     "Ya Allah! Iya yal, balikin sini aku lupa ga sempat simpan di rumah, " kataku buru-buru mengambil kaset dari tangan Rial

     "Ciyeee, buat siapa tu? Sampai dibungkus ungu pink segala. Hahaha ... "  Rial menggodaku.

     "Itu tuh, Putri outlet dari toko kaset sebrang situ. Makanya tadi si Chapunk nyanyi gemeter, takut Putri manisnya nongol. Apa nggak nyadar penonton banyak yang nyinyir, nyanyi kemana musik kemana," Sambung Sammy menyindirku. Aku diam tak menanggapi Sammy dan Riku yang tak henti menggodaku, walau dalam hati aku gemas juga ingin membalasnya, tapi aku sadar aku yang salah dan bila kujawab godaan mereka pastinya bakalan semakin memanas. Hatiku sedang berbunga dan aku tak ingin berdebat mengenai apapun.

     Setelah acaranya selesai kami pulang kerumah masing-masing, kurebahkan tubuhku sesampainya dikamar dekilku, tanpa cuci muka, tanpa ganti baju, pokoknya aku malas melakukan apapun. Hari ini aku sedang kesal diledek terus, dimarahi kawan, dinyinyirin penonton yang kecewa karena suara dan penampilan burukku, rasanya pusing terpikirkan semua itu. Dari pada semakin stres mending kubayangkan hidup orang lain yang sepertinya enak dan normal-normal saja apalagi mereka yang sudah punya pacar, sedangkan aku masih sendiri jadi zomblo dan zomblo itu pedih kata bahasa sadisnya, hingga saking lamanya sedih dan sendirian aku sudah lupa kapan terakhir aku bahagia punya status pacaran. Aku iri melihat kawan-kawan ada yang bawain minum dan cemilan ke studio, ada yang romantis-romantisan ngobrol ditelpon, ada yang merhatiin, ada yang cemburu, sementara aku masih kumal tak ada yang sayang apalagi memperdulikanku.

     "Seenaknya saja semua nyindir aku, coba mereka yang rasain," Kataku menggerutu dalam hati. Tapi saat melihat kaset Sheila yang akan kuberikan pada Ulfa, entah kenapa aku merasa tenang seakan aku punya harapan lagi tentang cinta. Sambil bersantai merebahkan diri meluruskan kakiku, kutatapi tiap sudut dinding kamar, berharap tak lama lagi dinding yang kosong dan dekil ini terisi photo Ulfa (ngarep). Aku berjanji pada diriku sendiri, seandainya rencanaku sukses mendapatkan cinta Ulfa, aku akan mencat rapi dinding kamarku supaya pantas seandainya ada photo aku dan Ulfa. Hmhhhh, segera kututup wajahku dengan bantal agar khayalku tak lepas kejauhan.

                        ***

Dinding ini masih kosong,
Sebagaimana hatiku yang piatu,
Kutatap dia hanya dianganku,
Sebab saat kubuka mata dia tak ada,
Ada resah yang singgah,
Ada kerinduan yang bertalu,,
Seperti lagu yang kunyanyikan,
Kutitipkan pada asaku esok hari,
Dan mimpi cinta kan nyata.
Kuhantarkan dia, kumiliki dia,
Bercanda padanya, marah padanya,
Tiada lagi detik melirih, saat aku punya kekasih,
Dan dialah yang kupinta,
Dan bingkai kosong dimejaku,
Kelak ada yang mengisi

                         ***

Bagian 6

     Hampir tiga bulan berlalu setelah pertemuanku dengan Ulfa, tapi kaset-kaset yang kubeli darinya belum juga kuberikan karena kenyataannya tak semudah dalam rencana awal saat aku pertama kali bertemu dengannya. Setiap seminggu sekali aku datang ke toko membeli kaset baru, padahal niatku hanya ingin bertemu dengan Ulfa. Hingga saking seringnya bertemu, Ulfa mulai mengenalku sebagai salah seorang pelanggan ditokonya dan tak pernah sedikitpun kutampakan perasaanku. Kalau dipikir-pikir lucu juga, setiap aku memilih kaset yang akan kubeli, pertanyaanku selalu sama pada Ulfa; "Kalau Teteh sukanya yang mana?"

     Sambil berbaring melamun,  kutatapi semua kaset yang sudah kubeli rupanya sudah banyak juga, kuhitung kira-kira ada 38 keping kaset belum termasuk yang berserak disamping kasurku, malas rasanya bila mesti kuhitung satu-satu. Bagaimana tak banyak, seminggu sekali aku membeli 4 atau lebih kasetnya, setelah beberapa bulan berlalu tapi aku masih tak berani memberikannya pada Ulfa. Bahkan tak ada satu kasetpun yang sempat kuputar karena takut merusak bungkusnya.

     "Sampai kapan harus begini?" Kataku bicara sendiri sambil menatap kosong tumpukan kaset yang berserakan diatas kasur. Lama berpikir, kucoba meyakinkan diriku sendiri supaya berani mengutarakan perasaanku pada Ulfa. Setidaknya bila tak berani langsung bicara, tapi bagaimana caranya supaya Ulfa tahu tentang perasaanku, dan tak berapa lama ilhampun datang;

     "Iya, aku akan menyuratinya! Kuselipkan suratku diantara kaset-kaset ini. Hehee" kataku tersenyum sendiri terbayang ide bodohku. Tanpa berpikir lagi aku mulai menulis surat cinta buat Ulfa;

     Dear Ulfa ...
    
     Maaf ya nggak sopan banget, tahu nggak fa, kalau semua kaset yang kubeli dari kamu sesungguhnya buat kamu. Mestinya sih dari pertama aku beli Ada band sama Sheila on 7, masih inget nggak? Itu yang buat kamu, hehee, tapi aku nggak pernah berani ngasihnya, soalnya tatap mata kamu bikin hatiku 'aduuuh' ciyeeee, gombal ah.
     Ulfa, maafin aku yah nekat kayak gini, semoga aja surat ini bisa nyampe kamu baca, nggak sekedar kutulis terus kubuang lagi, capek tahu!
     Ulfa, aku bosen jadi Manusia bodoh yang tiap malem jadi bego mikirin kamu, dan dengan kenekatanku ini, aku harap bakalan ada hasilnya, Chapunk dan Ulfa bakalan jadi 'Kita' kayak judul lagunya Sheila, dan Ulfa, Jadikanlah aku pacarmu, agar kamu kayak Sheila lagi, alias Anugerah terindah yang pernah kumiliki. Sungguh Ulfa, sueerrr deh, diriku tak setengah hati nyukain kamu, hmpppp ...
     Udah dulu ya Ulfa, Kata Pak Posnya udah mau pergi, takut keburu datang kompeni, hahahaa, becanda fa, senyum atuh ... dan maaf ya Fa, kalau isi surat ini banyak hehee nya, moga aja dengan surat yang panjang dan kaset yang ngebugbrug ini, kamu bakal ngerti perasaanku, amin ... aminin atuh Fa, heheee, becanda lagi.

With Love
Chapunk Yos fallar Ti

     Selesai menulis, segera kubungkus dengan rapi semua kaset dan tak lupa kuselipkan selembar suratnya. Rasanya tak sabar menunggu besok pagi, semoga saja aku berani. Aku harus siap menerima apapun jawaban Ulfa. Setengah lelah kuingat-ingat isi surat buat Ulfa. Aku takut salah menulis hingga gelisah tak bisa tidur. Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi mau tak mau aku harus mengungkapkan perasaanku pada Ulfa. Aku tak ingin selalu dihantui pertanyaan, menebak-nebak apa yang akan terjadi. Segera kutarik selimutku, kututup seperti biasanya wajahku dengan bantal, harus kupaksakan segera tidur agar esok pagi aku siap.

                           ***

Kidung cinta selalu saja merdu,
Meski rindu mengiris,
Dan resah pecah menjadi suka duka yang tipis,
Namun dengan mimpi akan ada bahagia,
Namun dengan mimpi esok pagi selalu akan ada,
Biarlah hitam pelangi menancap dalam hari,
Kubiarkan hati ini mengalir,
Biar sesak didada,
Daripada jadi tanya yang tak berakhir,
Tertumpuk dalam gelapnya bejana

                     ***

Bagian 7

     Aku terbangun tak terasa dini hari, sayup-sayup terdengar adzan Subuh yang menenangkan pikiranku. Rasanya damai sekali, dan yang jelas aku tak boleh janjian dengan setan hingga membuatku nyaman kembali ketiduran. Bergegas kupaksakan berdiri untuk kemudian berwudhu sebelum menunaikan Shalat Shubuh

     "Ya Allah, mudahkanlah jodohku, ingin kumiliki seorang istri, terbaik hanya dari pilihan Mu, dan jodohkanlah aku dengan wanita yang kucintai dan ia pun mencintaiku karenaMu. Nikahkanlah aku ya Rahim, halalkanlah hasrat cintaku dan sempurnakanlah ibadahku, amin." Doaku seusai Shalat membuat aku termenung sejenak, rasanya ingin sekali menangis terbayang semua keburukanku yang mungkin membuatku seperti ini.

              ***

Pagi ini gelisah,
Larik wajahmu kulukiskan dalam hati,
Yang tanpa tidur selalu buat kubermimpi,
Segera ingin kuhantarkan cintaku,
Segera ingin kuhadiahkan hidupku,
Terserah mau kau apakan,
Yang kutahu majas-majas cinta selalu saja kubaca,
Lewat bayangmu,
Lewat lagu cinta,
Lewat burung pipit melantun terjaga,
Ingin kutangkap kau di udara,
Namun mustahil kujaring suara-suara dalam dada,
Dan aku harus bicara pada telingamu,
Agar kau mengerti perasaanku

                ***

     Kulihat keluar jendela sudah hampir siang, aku bergegas mandi merapikan diri dan tanpa berpikir panjang lagi segera kujalankan ideku pergi ke toko kaset untuk menemui Ulfa. Tak butuh waktu lama aku sampai di Mall tempat Ulfa bekerja, aku merasa semua orang disekitarku seperti memperhatikanku padahal mungkin hanya perasaanku saja. Malu kubuang jauh-jauh melewati ramainya orang berlalu-lalang di Mall yang cukup besar, membawa bungkusan berisi puluhan keping kasetku. Aku ingin cepat menemui Ulfa, siap tak siap, aku harus siap.

     Aku masuk kedalam toko kaset dan kulihat Ulfa tengah sibuk melayani konsumen. Tak mau banyak berpikir lagi aku langsung menghampirinya. Ulfa yang dari jauh sudah melihat kedatanganku lebih dulu menyapaku karena memang sudah terbiasa bertemu denganku sebagai pembeli setia kaset ditokonya.

     "Eh Aa, nyari kaset baru lagi ya, buat koleksi pacarnya? Ini ada yang bagus A, Element, judul lagu hits nya Rahasia hati," kata Ulfa langsung bicara, menyangka aku hendak membeli kaset lagi.

     "Oh, nggak ah! Hari ini aku absen beli kaset," jawabku.

     "Hmm, berarti nyari CD film ya A?" Tanyanya lagi.

     "Nggak, aku nyari kamu!" Jawabku sedikit gemetar.

     "Hehee, Aa ada-ada saja. Oh iya! Jikustik juga lagunya enak loh, yang judulnya Setia," Jawab Ulfa malah promosi.

     "(Haduuuhhh, gimana nih!)" Kataku dalam hati. Jujur aku takut sekali, lama terdiam akhirnya kuberanikan diriku. Hmmhhhh, Bismillah ...

     "Teh, ini buat teteh, nama teteh; Ulfa kan?" Kataku tanpa basa-basi lagi sembari kusodorkan bungkusan kado berisi kaset dan surat cintaku.

     "Hhhhh, Apa ini A? Iiiiih, nggak ah, maksudnya apa A, becanda ya?" Tanya Ulfa tampak kaget.

     "Aku serius, buka saja ya, sekarang aku pulang dulu," kataku buru-buru sembari mempercepat langkahku meninggalkan Ulfa. Aku benar-benar bingung tak tahu harus bagaimana lagi. Ditambah lagi aku malu karena begitu banyaknya orang didalam toko yang tampak heran menyaksikan kelakuanku.

     "Ehh ... Aa! ... Aa! ... tunggu ... " Ulfa memanggilku tapi pura-pura tak kudengar dan mempercepat langkahku. Setelah merasa cukup jauh keluar dari toko, aku bersembunyi memperhatikannya. Kulihat Ulfa tengah membuka bungkusan yang kuberi, tapi tak sampai selesai terbuka ia kembali menyimpan bungkusannya kebawah meja mungkin karena sudah banyak pelanggan toko yang harus dia layani.

     "Ah, akhirnya sampai juga ditangan Ulfa, hmhhh," Kataku bicara sendiri menarik nafas panjang. Rasanya plonk sekali, dan inilah pengalaman pertamaku, sesuatu yang membuatku dagdigdug. Sengaja kutuliskan nomor HP ku dibungkusan kasetnya, berharap Ulfa menghubungiku setelah membaca isi suratnya.

     Aku pulang kerumah dengan was-was menunggu apa yang akan terjadi, setibanya dikamar aku kembali berbaring sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaanku. Sepertinya lambat sekali waktu berjalan, aku hanya diam tak tahu apa yang harus kulakukan. Ingin rasanya tidur lagi agar segalanya tak terasa, tapi pikiranku tak juga mau terlelap.

                  ***

Bagian 8

... I knew I love you before I met you, I'll have been Waiting all my life ... (Bunyi Ringtone Hp)

     Seketika lamunanku buyar, saat kudengar lagu Savage Garden yang kujadikan Ringtone diponselku berbunyi. Muncul dilayar ponsel Nomor asing yang tak kukenal.

     "Wah, mungkin saja ini Ulfa! Aduuuuh," kataku setengah panik hanya menatap layar ponsel tapi tak berani menjawabnya, walau akhirnya dengan was-was kujawab juga panggilannya.

     "Hallo, assalamualaikum, maaf ini dengan siapa ya?"

     "/ini Chapunk ya ... /"

     "Iya, maaf  ini siapa ya?" Tanyaku sekali lagi. Makin tak karuan perasaanku dan aku memang hafal nada suara itu, itu suara Ulfa!.

     "/Oh, wa'alaikum salam, ini Ulfa A, yang dari toko kaset/"

     (Degh ... ) Aku mematung sejenak, sepertinya darah langsung naik kekepalaku hingga tak sanggup bicara. Tak lama terdiam suara Ulfa ditelpon mengagetkanku lagi.

     "/Hallo! ... Aa ... Aa ... kedengaran nggak? Disini berisik. Hallo ... Hallo .../"

     "Iya ... iya ... hehee, maaf, gimana kasetnya?" Tanyaku pura-pura tenang.

     "/Makasih ya A, O iya, bisa nggak nanti pulang saya kerja kita ketemuan di depan toko?/"

     "(Ya Allah ... dia mengajaku ketemuan, hihiii, senangnya hatiku)" kataku bicara sendiri dalam hati, kemudian segera kujawab;

     "Bisa ... bisa ...jam 9 malam kan?" Kataku.

     "/Iya A, ya sudah ya, aku masih kerja, sudah ramai nih. Makasih kasetnya ya A, assalamualaikum/"

     "Wa'alaikum salam,"

     "/Tut ... tut ... tut ... /" (nada telpon putus).

     Entah apa yang kurasakan, Ponsel masih kutempel dipipiku, terpaku masih setengah tak percaya. Aku yakin sekali dari nada suaranya, kalau Ulfa menyukai hadiah kaset yang kuberikan padanya.

     "Hihii," aku tersenyum diri merespons isi pikiranku yang tengah berbunga. Aku sangat yakin sekali, tak lama lagi pencarian cintaku akan usai.

                ***

Ahh ... Wajahnya kian dekat,
Puteri dimimpiku semalam,
Mengajak hatiku berdansa,
Terbangkan irama rasa
Berdendang entah kemana,
Puteri, sebentar lagi jaga hatiku
Dan tanpa timpang,
Kukan pulang kearahmu ...

                ***
Bagian 9

     Kulihat jam dinding menunjukan pukul 07:30 malam. Aku segera berbenah merias diri supaya tampak menarik walau tetap saja sebegini adanya. Setelah selesai aku bergegas berangkat hendak menemui Ulfa ditempat kerjanya, hingga tak berapa lama aku sudah sampai didepan toko kaset. Kulirik jam di ponselku pukul 08:40, ketika baru saja hendak ku SMS Ulfa namun aku melihatnya keluar dari toko kemudian menghampiriku, dan seperti tak percaya rasanya, tiba-tiba Ulfa memelukku.

     "Aa ..." katanya singkat. Setengah kaget aku membalas erat pelukannya, haduuuhh, sungguh seperti sedang bermimpi. Tapi lama-lama aku risih juga dan perlahan melepaskan pelukannya.

     "Kenapa Ulfa? Bolehkan kupanggil Ulfa? Nggak enak manggil teteh terus," kataku menengadahkan wajahnya sambil setengah bercanda agar tak terlalu tegang. Tetapi semakin aneh rasanya saat kulihat matanya sudah basah. Aku heran kenapa Ulfa menangis sampai tak sanggup bicara, membuatku semakin bingung.

     "Kenapa Ulfa, sudah ... sudah jangan nangis, aku salah ya?" Tanyaku resah tak karuan.

     "Nggak A, aku bahagia sekali, tak pernah kurasakan perasaan seperti ini," jawabnya.

     "Alhamdulillah, berarti mau kan kamu jadi pacarku," tanyaku lagi menegaskan niatku.

     "A, aku suka tapi nggak bisa, nggak mungkin bisa A, " Jawab Ulfa lagi sambil terus saja terisak seperti menahan sesuatu. Aku terdiam mendengar itu, tapi aku yakin dari sorot matanya kalau Ulfa menyukaiku.

     "Kenapa Fa? Kaget ya, Kamu butuh waktu? Ok aku tunggu, aku tak memaksa fa," kataku lagi.

     "Nggak A, Nggak usah tunggu, sampai kapanpun nggak akan bisa A, biarpun aku lebih suka Aa dari Aa sayang aku, aku nggak bisa A ... nggak bisa ..." jawab Ulfa lagi. Aku bingung, mungkinkah Ulfa sudah punya pacar. Bila memang benar seperti itu yang kupikirkan, jelas aku akan mengalah. Aku tak mau menyakiti, aku tahu rasa sakitnya dikhianati.

     "Jadi kenapa nggak bisa, lalu kenapa tadi kamu memelukku? " Tanyaku lagi setengah kesal.

     "Aku meluk Aa karena aku tak pernah merasa disayangi seperti ini, aku meluk Aa karena aku merasa berharga sekali. Tak pernah ada yang memperjuangkanku sampai seperti ini, A ... Maafin Ulfa A," jawab Ulfa kembali menangis.

     "Lalu kenapa Nggak bisa Fa, yang kulakukan untukmu biasa saja, kamu memang pantas kusayangi, kamu memang berharga Fa! " kataku.

     Mendengar ucapanku Ulfa kembali terdiam dan menunduk tanpa bicara, tapi tak lama kemudian, Ulfa menatap mataku dengan lirih;

     "Aa ... Ulfa ... Ulfa ... aku ... aku udah nikah A, " Jawab Ulfa singkat.

     Mendengar jawaban Ulfa rasanya aku tak sanggup bicara lagi, hanya meremas sejenak jemari Ulfa kemudian menatap matanya. Masih terasa hangat genggamannya, aku seperti merasakan kalau sesungguhnya Ulfa tak mau melepaskanku. Dan ... Perasaan apa ini, hmmhhh ... aku menarik nafas panjang. Kutatap Ulfa yang kembali memelukku, tapi aku tak suka pelukan ini, rasanya menyakitkan. Rupanya lagu 'kita' belum juga kutemukan. Dan tak berapa lama, akupun pergi meninggalkan Ulfa yang masih menangis.

                    ***

Tapi kenapa kau memelukku,
Sepertinya hampir kurasa kau mencintaiku,
Darimu aku jatuh cinta,
Darimu aku terluka
Diwaktu yang persis sama

Kutatap diwajahmu kutahu ada perasaan itu,
Namun logika sadarku menggesernya diam-diam,
Sedalam apapun cinta ini
Namun dirimu
Takkan pernah bisa kumiliki,
Hanya anganku ...
Khayal cinta malam tadi

                     ~o0o~

~ Agung Saripudin,

Kuncup Cemara

Sakit Hati

Dan semenjak itu mungkin aku bisa tertawa tapi tak setegas dulu Dan Setelah itu mungkin aku bisa bicara tapi tak cerewet seperti kemarin Dan...